Berbagi Pengalaman Bersama Windry Ramadhina, Alexander Thian, dan Erni Aladjai di KPP 2015

how they do

Banyak acara menarik yang berlangsung selama Kumpul Penulis Pembaca (KPP) 2015 pada 12 Desember lalu. Salah satunya, pada pukul 09.00 di Galeri 678, Kemang, digelar acara yang bertajuk How They Do It.

how they do

Banyak acara menarik yang berlangsung selama Kumpul Penulis Pembaca (KPP) 2015 pada 12 Desember lalu. Salah satunya, pada pukul 09.00 di Galeri 678, Kemang, digelar acara yang bertajuk How They Do It.

Windry Ramadhina—penulis Orange, London, Interlude, dan Last Forever, Erni Aladjai—penulis Kei, dan Alexander Thian—penulis The Not-So-Amazing Life of @Mrazing dan Somewhere Only We Know adalah tiga penulis yang dipilih GagasMedia untuk menjadi pembicara di sesi itu.

Diskusi berlangsung seru. Para pengunjung KPP 2015 bisa mendengar kisah-kisah inspiratif dari tiga penulis berbeda genre ini. Tentang bagaimana mereka “berproses” menjadi penulis. Misalnya saja Erni yang membahas kesulitan saat ia harus mempromosikan Kei yang telah dialihbahasakan ke bahasa Inggris di luar negeri.

Menurut Erni, kesulitan yang ia hadapi justru terdapat pada bagaimana menyampaikan istilah lokal kepada pembaca di luar.

“Karena Kei juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris, yang saya lakukan saat itu adalah melakukan diskusi yang cukup intens dengan penerjemahnya,” kata Erni.

Kalau Erni merasa kesulitan untuk menerjemahkan istilah lokal, lain halnya dengan Alex. Penulis yang satu ini justru tidak bisa membayangkan jika novel Somewhere Only We Know bisa dengan mudah dibikin film.

Somewhere Only We Know itu aku buat dua alur cerita. Satu tentang Ririn, satu lagi tentang Kenzo. Aku sih, belum terbayang bagaimana memvisualkan kesepian si Kenzo dalam bentuk film, ya. Nggak hanya itu, Kenzo ini kan jatuh cinta kepada seseorang yang belum pernah ditemui. Jadi, ia hanya bermain dengan imajinasinya saja. Mengira-ngira, seperti apa sosok Hava yang ia cintai itu,” kata Alex menjelaskan.

Memasuki sesi pertanyaan, salah seorang pengunjung menanyakan apakah harus selalu ada pesan moral yang disampaikan dalam sebuah novel?

Menurut Windry, ketimbang memberikan pesan moral dalam sebuah karya, ia lebih memilih berbagi kepada pembacanya. “Aku selalu menghindari menjadi ‘guru’. Yang aku ungkapkan dalam karyaku adalah kondisi. Saat menulis kita tidak boleh men-judge, tapi harus memahami. Dan, yang perlu diingat, tiap pembaca memiliki penilaian berbeda tentang apa yang ia baca,” katanya.

Selain membahas tentang pesan moral, ada juga pengunjung lain yang menanyakan tentang bagaimana ketiga penulis ini menanggapi review orang lain terhadap karya mereka.

Alex dan Erni memiliki jawaban yang sama, yaitu menghindari membaca review orang lain tentang karya mereka. Bukan karena mereka tidak menghargai, tetapi lebih kepada menjaga emosi. Sedangkan Windry, memilih memercayakan reviewnya kepada orang-orang tertentu sebelum karya itu terbit.

Tidak hanya itu, ada juga pembahasan tentang sejauh mana karakter yang ketiga penulis ini buat memengaruhi pribadi masing-masing dalam menulis?

Menurut Alex, saat menulis Somewhere Only We Know, ia melakukan penggalian karakter dengan mendengarkan cerita teman-temannya. Secara permanen, karakter yang ia tulis tidak memengaruhi pribadinya.

Lain halnya dengan Windry. Karakter yang ia ciptakan malah terpengaruh dari dirinya. “Jadi, aku mengambil bagian kecil dari diriku yang ingin dituliskan ke dalam karakter di novelku. Yang sangat memengaruhi diriku bukan karakternya, tetapi lingkungan yang aku gambarkan dalam cerita itu,” jelasnya.

Diskusi pada pagi itu berlangsung seru. Berbagai pertanyaan bergulir dan direspons hangat oleh para penulis berdasarkan pengalaman mereka selama ini. Tentu, menjadi penulis selalu ada pengalaman menarik untuk disimak.