Budaya Solo dalam Kisah Persahabatan

best-rival1

Berasal dari kota kecil bernama Sukoharjo (yang terletak di selatan Kota Solo), Naima Khoiru Nisa—yang dipanggil Naima—berhasil menjadi salah satu dari tujuh pemenang Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins GagasMedia. Perempuan kelahiran tahun 1990 ini mengirimkan naskah dengan harapan ia bisa mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang penulis dan menerbitkan novel.

best-rival1

Berasal dari kota kecil bernama Sukoharjo (yang terletak di selatan Kota Solo), Naima Khoiru Nisa—yang dipanggil Naima—berhasil menjadi salah satu dari tujuh pemenang Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins GagasMedia. Perempuan kelahiran tahun 1990 ini mengirimkan naskah dengan harapan ia bisa mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang penulis dan menerbitkan novel. Perasaan Naima sangat tidak menentu sebelum pemenang-pemenangnya diumumkan; ia merasa pesimis saat melihat banyaknya peserta yang mengunggah video promo di Youtube, Naima juga merasa frustrasi saat pengumuman pemenang Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins diundur. Bahkan, setelah masuk menjadi salah satu dari 20 besar, ketidakyakinan masih ada di dalam hatinya. Dalam keadaan yang remuk redam karena tipus-lah, akhirnya Naima  menerima berita bahwa naskahnya berhasil menjadi pemenang Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins.

Naima bukanlah orang pertama yang mengangkat dosa envy—iri hati—sebagai tema dalam naskah yang ditulisnya. Baginya, dosa “mematikan” yang satu ini lebih gampang dikisahkan dibanding dengan dosa yang lain; mungkin karena banyaknya keirian hati yang dapat dilihat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Novel ini terinspirasi oleh kearifan lokal yang sepertinya jarang sekali dimunculkan dalam sebuah novel. Ia juga menyelipkan budaya Kota Solo serta masakan khasnya di dalam naskah.

Best Rival bercerita tentang persaingan dua orang sahabat yang sama-sama berprofesi sebagai koki. Kuncoro yang telah menjadi chef rumah makan terkenal di Solo merasa hidupnya selalu berada di bawah sahabatnya, Estu. Ia merasa dunia tidak adil karena Estu dapat memiliki apa pun yang ia inginkan; terlahir sebagai keturunan keraton, kuliah di Cordon Blue Prancis, menerbitkan buku biografi, dan bahkan mengalahkan ketenaran restoran Kuncoro.

Kecemburuan yang dirasa oleh Kuncoro membuatnya memanfaatkan Gendis, kekasihnya, untuk mencari tahu rahasia apa yang membuat restoran milik Estu disukai oleh banyak orang. Kecurigaannya, bahkan sampai kepada hal-hal yang di luar nalar. Hal itu menyebabkan Kuncoro menduga Estu menggunakan klenik atau perdukunan dalam usahanya.

Dalam bukunya, Estu menulis bahwa ia meminta bantuan leluhur keraton yang bernama Nyai Menggung Gandarasa, yang dulunya adalah seorang juru masak keraton.
Hingga pada akhirnya, Kuncoro dihadapkan pada dua pilihan yang sulit; berkorban untuk menang atau menyerah dan menerima keadaan.

Novel Best Rival ini masuk ke kompetisi Seven Deadly Sins dengan judul “Gandarasa”. Dalam kata “gandarasa” sendiri, jika dipenggal suku katanya, gandarasa akan menjadi ganda dan rasa—yang artinya dua rasa yang serupa. Maknanya adalah sekeras apa pun Kuncoro berusaha untuk menyamai masakan yang dibuat oleh Estu, rasa masakan yang mereka buat tidak akan pernah sama.

Penggemar novel-novel Dewi Lestari ini telah belasan kali mengirimkan naskah ke penerbit maupun mengikuti kompetisi menulis; tetapi sesering itu pula ia ditolak dan harus mengalami kegagalan. Naima sering patah semangat, tapi ia juga tidak mau kalah. Oleh karena itu, ia bertekad kuat untuk meraih apa yang ia impikan sejak SMP walaupun itu berarti ia harus melalui banyak rintangan dan kesulitan. Naima sempat merombak dan mengganti alur cerita yang sudah dibuatnya, meskipun telah menulis sampai bab ketiga. Selain itu, pekerjaannya di kantor membuat Naima terpaksa berhenti menulis naskahnya. Untungnya, tenggat waktu pengiriman lombanya diundur. Naima pun optimis dan kembali menulis secara diam-diam, bahkan di sela jam kerjanya. Lalu, dalam waktu lebih kurang sebulan, Naima berhasil menyelesaikan naskah Gandarasa, bahkan berhasil pula meraih impian yang telah lama ia gantungkan.

Selanjutnya, Naima ingin mencoba untuk bisa membaca segala genre buku untuk meningkatkan kemampuannya dalam menulis. Ia pun juga berencana untuk terus menulis novel romance. Naima pun juga berharap para calon pembaca novelnya akan lebih mencintai budaya sendiri dan belajar menerapkan pepatah Jawa “narima ing pandum” yang artinya menerima apa pun yang diberikan oleh Tuhan. Naima dapat dihubungi melalu e-mail-nya: naima.knisa@gmail.com atau lewat Twitter-nya @imakecil.