Cerita Adhitya Mulya tentang Media Sosial, Film, dan Karier Menulisnya di MIWF 2017

adhitya mulya

Salah satu penulis GagasMedia yang turut serta mengisi acara di Makassar International Writers Festival 2017 adalah Adhitya Mulya. Yup, penulis Sabtu Bersama Bapak dan terakhir buku barunya Bajak Laut & Purnama Terakhir ini ambil bagian dalam acara Sharing Our Life: What is The Limit, Don’t Judge Book By Its Movie, dan In Conversation With Adhitya Mulya.

Dalam acara Sharing Our Life: What is The Limit, Adhit menjadi pembicara bersama Valiant Budi, Bondan Winarno, dan Hasanuddin Abdurakhman.

Seperti kita ketahui, media sosial saat ini memang berperan penting dalam banyak hal, termasuk dalam mempromosikan sebuah karya dan para tokoh di balik karya tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketika peran media sosial ini sudah mengarah ke kehidupan pribadi para pemilik akun tersebut.

Tidak semua hal—baik pikiran maupun tulisan—bisa kita bagi di ruang publik. Karena media sosial bisa menjadi pedang bermata dua bagi pemiliknya.

Adhit sendiri termasuk salah satu penulis yang dikenal banyak orang karena karya-karyanya. Ia memulai kepenulisannya dengan menulis blog yang bisa mematik respons atau feedback pembacanya.

Meski demikian, tidak semua hal Adhit bagikan dalam media sosial yang ia miliki. Adhit tahu kapan waktu yang tepat untuk berbagi di media sosial dan kapan harus membatasinya.

“Semakin saya dikenal di media sosial, semakin saya harus mengurangi keintiman tulisan karena bisa dibaca banyak orang,” kata suami dari Ninit Yunita ini.

Namun, Adhit juga setuju bahwa media sosial bisa menjadi media promosi yang baik. “Bisa menjadi work tester. Kita bisa menanyakan pendapat mereka tentang karya kita,” ungkapnya.

Bicara perfilman dari kacamata penulis

Menonton film dari sebuah karya tulis atau membaca novel yang diadaptasi dari film tentu sudah bukan hal asing bagi kita. Namun, kenapa ya, tidak semua yang ada di novel sama seperti filmnya atau sebaliknya?

Nah, dalam acara Don’t Judge Book By Its Movie, Adhitya Mulya kembali menjadi pembicara. Kali ini bersama Ika Natassa.

Menjawab pertanyaan di atas, menurut Adhit, tidak semua adegan di buku bisa divisualisasikan. Itulah mengapa, cerita dalam buku tidak selalu sama dengan versi filmnya.

Lebih lanjut, Adhit pun berbagi pengalamannya tentang skenario film. Sebagai penulis, Adhit merasa harus memberi ruang eksplorasi bagi penulis skenario. Hal itu berkaitan erat dengan kreativitas.

Sedangkan dalam hal casting, menurut Adhit akan lebih baik jika kita—sebagai penulis—mendapatkan seorang produser yang menanyakan pendapat penulis terlebih dahulu tentang pemilihan pemain.

Sebagai penulis, Adhit yang beberapa bukunya sudah dibuatkan film, sudah memiliki pakem tersendiri saat menulis.

“Ketika menulis novel, saya sudah menulisnya dalam tiga babak, seperti formula film agar mudah ketika difilmkan,” begitu kata pria yang dikenal sebagai penulis komedi ini.

Tidak hanya itu, Adhit juga menceritakan bahwa pengalaman dan emosi saat menulis buku dengan skenario film berbeda. “Keduanya terasa spesial buat saya,” katanya.

In conversation with Adhitya Mulya

Acara selanjutnya yang dihadiri Adhitya Mulya adalah “In Conversation with Adhitya Mulya”. Dalam acara ini Adhit menceritakan pengalaman karier kepenulisannya. Banyak hal yang telah berubah sejak awal ia terjun di dunia kepenulisan, terutama dalam hal strategi promosi.

“Dulu, medium promosi karya lebih sempit. Sekarang ada media sosial yang memudahkan saya berinteraksi dengan pembaca,” kata pria yang dikenal lewat karya Jomblo.

Usai membahas tentang strategi promosi, Adhit pun melanjutkan sharing pengalamannya saat menulis dua buku terakhirnya, yakni Sabtu Bersama Bapak dan Bajak Laut & Purnama Terakhir.

Menurut Adhit, ia termasuk orang yang suka menulis sesuatu yang baru. “Ketika orang belum mencoba, saya tetap mau coba. Berhasil atau tidak,” katanya.

Hal itu ia tuangkan dalam buku Sabtu Bersama Bapak. Menurut Adhit, buku ini sebenarnya berisi tip-tip parenting, namun dikemas dengan bingkai fiksi. “Pesannya tersampaikan lebih baik,” ungkap Adhit.

Lain halnya dengan Bajak Laut & Purnama Terakhir. Untuk buku ini, Adhit mengaku harus melalui proses penulisan yang sangat panjang hingga 12 tahun lamanya. Menurutnya, riset sejarah untuk buku ini yang memakan waktu lama.

“Saat menulis Bajak Laut & Purnama Terakhir, saya pakai hampir semua formula buku fantasi yang pernah terbit. Tidak hanya itu, saya juga banyak meracik ide untuk ending-nya,” begitu kata Adhit.

Kehadiran Adhitya Mulya dalam Makassar International Writers Festival 2017 memang memberikan warna dan cerita tersendiri. Dan, acara In conversation with Adhitya Mulya ditutup dengan sesi foto dan tanda tangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *