Melebur Jarak, Melipat Batas

TAK ada perhitungan laba-rugi, tak ada deretan angka royalti dalam program Dengan Jari Aku Melihat, Dengan Jari Kita Bergandeng Tangan. Buku-buku yang di-braille-kan pun tidak akan dikomersilkan. Buku-buku yang di-braille-kan itu akan diletakkan di perpustakaan khusus tunanetra. Sedangkan soft copy file berformat braille-nya akan disimpan dan menjadi koleksi dari Kebi Online, sebuah perpustakaan online khusus buku braille online yang dikembangkan oleh Yayasan Mitra Netra.

Terbatasnya buku-buku braille yang ada membuat mereka justru berjarak dengan bacaan dari kultur mana mereka berasal dan tumbuh.

TAK ada perhitungan laba-rugi, tak ada deretan angka royalti dalam program Dengan Jari Aku Melihat, Dengan Jari Kita Bergandeng Tangan. Buku-buku yang di-braille-kan pun tidak akan dikomersilkan. Buku-buku yang di-braille-kan itu akan diletakkan di perpustakaan khusus tunanetra. Sedangkan soft copy file berformat braille-nya akan disimpan dan menjadi koleksi dari Kebi Online, sebuah perpustakaan online khusus buku braille online yang dikembangkan oleh Yayasan Mitra Netra.

Irwan Dwi Kustanto, Wakil Direktur Eksekutif YMN, juga memaparkan bahwa melalui Perpustakaan Braille Online ini, para produser buku Braille di daerah yang menjadi anggota Kebi, dapat memanfaatkan koleksi tersebut untuk dicetak dan dimanfaatkan oleh para tunanetra di lingkungan mereka. Soft copy buku yang telah selesai diolah, kemudian akan dikembalikan kepada pihak GagasMedia.

YMN mengaku bahwa langkah yang diambil Gagas sangat membantu gerakan lembaganya untuk menghadirkan ragam bacaan bagi para tunanetra. Selama ini, kawan-kawan tunanetra seolah hidup dalam dunia yang berbeda. Indra pendengar mereka menangkap ramainya pembicaraan orang tentang sebuah buku. Namun, hambatan pada penglihatan menyebabkan  mereka tak mampu mengakses buku terbaru tersebut. "Saya seperti hidup di dunia yang berbeda," cerita Irwan yang juga memiliki hambatan pada penglihatan.

Hal ini pun disadari oleh para penulis. Miaranda, penulis novel adaptasi UnguViolet, tahu, meskipun teman-teman tunanetra sudah sangat pandai mengakses e-book yang tersedia di dunia maya, tetapi terbatasnya buku-buku braille yang ada membuat mereka justru berjarak dengan bacaan dari kultur mana mereka berasal dan tumbuh. Mengecualikan mereka dari fenomena-fenomena kultur pop yang berkembang.

Wien Muldian, penggerak Forum Indonesia Membaca optimis, bila wacana ini telah terbangun di masyarakat, khususnya di kalangan dunia penerbitan, teman-teman tunanetra akan sangat terbantu mendapatkan akses bacaan yang bermutu. Wien yang saat ini juga menjabat sebagai manajer library@senayan melihat bahwa program ini perlu didukung penuh oleh penulis dan media massa.

Selama ini, buku yang tersedia untuk tunanetra sangatlah terbatas. Para tunanetra yang ingin mendapatkan bahan bacaan umumnya berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan khusus untuk tunanetra. Namun di perpustakaan tersebut, koleksi buku sangat terbatas. Buku yang tersedia hanyalah buku pelajaran dan koleksinya pun sangat tertinggal bila dibandingkan dengan buku yang beredar di pasaran. Bagi mereka yang ingin memiliki buku sendiri, mereka harus membeli dengan harga yang mahal, mengingat ongkos pembuatan buku Braille amatlah mahal.

Ketidaktersediaan buku yang aksesibel untuk tunanetra ini membuat para tunanetra menjadi tidak mandiri dalam mendapatkan buku. Untuk mengejar ketertinggalannya, para tunanetra biasanya akan mengajak pendamping (orang awas/berpenglihatan) untuk membacakan buku bagi mereka. Kondisi ini membuat mereka sangat bergantung pada orang lain.

Selain itu, kemampuan para produser buku braille dalam memenuhi kebutuhan para tunanetra juga relatif terbatas. Rantai kerja yang panjang dan ongkos produksi yang mahal adalah kendala yang harus mereka hadapi. Untuk memproduksi sebuah buku braille, pertama kali dilakukan adalah menyediakan dokumen buku yang hendak di-braille-kan (Softcopy buku). Dokumen ini kemudian diedit untuk dikonversi ke dalam format Braille, selanjutnya dicetak/emboss dengan menggunakan braille printer. "Proses pembuatan softcopy buku selama ini dilakukan dengan mengetik ulang buku, proses inilah yang umumnya memakan waktu lama sehingga untuk dapat membuat sebuah buku Braille, dibutuhkan waktu rata-rata dua sampai tiga bulan," papar Irwan.

Kondisi inilah yang membuat ketersediaan buku untuk tunanetra menjadi sangat terbatas. Walhasil, para tunanetra selalu tertinggal dalam memperoleh bahan bacaan, khususnya buku populer. Tak sedikit para tunanetra yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi mengalami kesulitan dalam mendapatkan buku yang dapat menunjang pendidikan mereka. Padahal, untuk dapat menjadi sumber daya yang cerdas dan berkualitas, mereka juga membutuhkan bacaan-bacaan yang berkualitas.

"YMN berharap, dengan program kerja sama antara GagasMedia, Indonesia Membaca, dan Perpustakaan Diknas ini tunanetra tidak lagi tertinggal dalam mendapatkan karya sastra yang berkualitas dan ramai dibicarakan di kalangan pecinta buku. Dan tentunya, semakin banyak penerbit dan penulis yang mau bersama kami bergandengan tangan mendukung program ini."

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *