Di balik Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins yang berakhir beberapa bulan silam, terdapat para juri yang memberi penilaian dan berperan besar dalam menentukan tujuh naskah yang patut menjadi pemenang. Juri yang terlibat dalam kompetisi ini adalah Bernard Batubara – editor sekaligus penulis …
Di balik Kompetisi Menulis 7 Deadly Sins yang berakhir beberapa bulan silam, terdapat para juri yang memberi penilaian dan berperan besar dalam menentukan tujuh naskah yang patut menjadi pemenang. Juri yang terlibat dalam kompetisi ini adalah Bernard Batubara – editor sekaligus penulis yang telah menerbitkan sejumlah karya; Fidriwida, atau mungkin lebih dikenal dengan nama pena-nya: Dahlian; dan juga Nina Ardianti – seorang pegawai bank yang menulis novel di waktu senggangnya. Masing-masing juri adalah penulis yang berbakat sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk memberi penilaian pada 20 naskah yang berhasil lolos dari proses penyaringan editor GagasMedia. Para juri memiliki waktu sekitar dua minggu untuk memberi penilaian pada 20 naskah yang menjadi nominasi. Dengan waktu yang tidak banyak, mereka harus bisa memberi penilaian secara efisien terhadap naskah-naskah tersebut.
Meskipun penerbit GagasMedia telah menentukan kriteria penilaian, para juri juga memperhatikan faktor-faktor yang penting dalam sebuah novel fiksi. Faktor penting tersebut antara lain adalah ide, kekuatan dialog dan narasi, plot, tokoh dan karakterisasi, gaya menulis dan diksi, dan yang terakhir adalah konsistensi tema 7 Deadly Sins itu sendiri. Setiap juri juga mempunyai preferensi tertentu naskah seperti apa yang menarik perhatian mereka. Bernard Batubara selalu membaca beberapa paragraf pertama sebuah naskah – karena kesan pertama sangatlah penting baginya. Bahkan jika perlu, sejak membaca judulnya pun ia sudah terpikat. Demikian pula halnya dengan Nina Ardianti; jika beberapa halaman awal naskah tersebut sudah menarik, biasanya ia akan penasaran dan terus melanjutkan membaca. Menarik disini bisa dilihat melalui jalan cerita, cara bercerita, maupun pemilihan diksinya. Sedangkan bagi Fidriwida, ia tertarik pada naskah yang memiliki alur yang rapi dan mengikuti logika. Porsi narasi dan deskripsinya diatur dengan baik, dan gaya penulisannya pun enak untuk dibaca.
Selain waktu yang terbatas untuk menilai naskah, kesulitan terbesar yang harus dihadapi oleh para juri adalah memberikan nilai dan menentukan pemenang. Mereka harus melakukan penilaian terhadap 20 naskah yang sebelumnya telah melalui proses penyaringan – sehingga naskah-naskah tersebut sudah bersaing dengan sangat ketat. Walaupun ada tiga juri yang terlibat, sama sekali tidak ada proses diskusi karena masing-masing juri mengisi form penilaian, memberi catatan, dan juga nilai – yang kemudian diserahkan kepada penerbit untuk dikompilasi. Meskipun demikian, tujuh naskah terbaik yang terpilih oleh satu juri tidak berbeda dengan pilihan juri lainnya – yang berarti naskah-naskah tersebut memang layak untuk menjadi pemenang.
Tujuh naskah yang pada akhirnya berhasil menjadi pemenang tentunya memiliki kelebihan dibanding naskah-naskah lainnya yang masuk dalam nominasi. Naskah-naskah ini adalah yang dirasa paling sesuai dengan tema kompetisi yaitu 7 Deadly Sins. Selain kesesuaian pilihan tema, ekseksui cerita dan plot yang kuat juga menjadi nilai plus. Terlebih lagi, penggarapan elemen-elemen fiksi yang baik serta cara bercerita yang membuat para juri engage saat membaca membuat naskah-naskah tersebut berhasil keluar sebagai pemenang untuk kompetisi ini. Pada akhirnya, Nina Ardianti menyatakan bahwa ia tidak menyangka kalau ternyata ‘dosa’ bisa dikembangkan menjadi berbagai macam cerita dengan alur dan twist yang tidak terbayangkan; bukti bahwa imajinasi itu tidak terbatas.