Setting Dalam Fiksi Oleh: Okke ‘Sepatumerah’

Perempuan-perempuan-Tersayang

Plot, tokoh, dan setting. Ketiganya adalah unsur yang penting dalam membangun sebuah fiksi. Cuma yang sering terjadi, penulis sering keasyikan mengolah plot dan tokoh. Secara detail merintil, kita mengatur jalan cerita, memikirkan konflik, memikirkan ending. Karakter? Jangan ditanya, dari sifatnya, penampilan fisiknya, bahkan namanya saja sudah dipikirin banget supaya keren dan cocok sama sifatnya (Kita sampai cari situs online yang berisi daftar nama bayi dan artinya, nggak? Sama!).

Perempuan-perempuan-TersayangPlot, tokoh, dan setting. Ketiganya adalah unsur yang penting dalam membangun sebuah fiksi. Cuma yang sering terjadi, penulis sering keasyikan mengolah plot dan tokoh. Secara detail merintil, kita mengatur jalan cerita, memikirkan konflik, memikirkan ending. Karakter? Jangan ditanya, dari sifatnya, penampilan fisiknya, bahkan namanya saja sudah dipikirin banget supaya keren dan cocok sama sifatnya (Kita sampai cari situs online yang berisi daftar nama bayi dan artinya, nggak? Sama!).

Apa kabar dengan setting? Agak terabaikan.

Kita ngalamin ini nggak? Atau saya doang, ya?

Padahal yang namanya setting itu elemen yang tidak boleh dilupakan dalam fiksi. Plot dan tokoh bertugas untuk menceritakan, sementara setting adalah ‘wadah’ dari plot dan tokoh yang sudah kita buat untuk ‘melaksanakan’ tugasnya.

Bagaimana pembaca akan tahu bahwa tokoh sedang galau di kantornya saat lembur malam-malam, kalau tidak ada deskripsi setting? Bagaimana pembaca bisa mengerti bahwa dalam plot ada flashback ke tahun 1945, tanpa setting?

Dengan tersedianya deskripsi setting, maka sebuah cerita fiksi akan terasa real.

Jadi setting itu sebenarnya makhluk apaan sih? Yah, pada intinya, setting adalah tempat dan waktu terjadinya sebuah cerita.

Yang termasuk tempat meliputi planet (siapa tahu kita mau membuat fiksi ber-genre sci-fi), negara, pulau, kota, desa, kabupaten, kecamatan, jalan, whatever, pokoknya semua lokasi kita tempatkan sang tokoh dan cerita. Selalu ingat bahwa setting akan menjadikan sebuah fiksi real, jadi tempat tidak hanya sebagai tempat yang kita sebutkan namanya, harus ada hal-hal lain yang bisa membuat pembaca memercayai memang di sana tempat kejadiannya. Untuk itu ada unsur lain yang harus diteliti saat riset, antara lain:  

(1) Cuaca. Bagaimana kondisi wilayah yang kita pilih kala musim hujan, kemarau, berkabut, cerah atau ada hujan badai? Berapa temperaturnya? Tentunya akan jadi ajaib ketika kita menyebutkan tokohnya mengenakan coat, shawl  dan boots ala winter, tapi lokasi yang kita pilih bertemperatur 32o C. Ya, kan? Kan.

(2) Kondisi geografis, ini tidak jauh dari yang sebelumnya;  seperti apa kondisi geografi lokasi yang kita pilih? Apakah pegunungan, apakah pantai, apakah di metropolitan yang penuh gedung? Hewan-hewan dan tumbuhan apa yang ada di tempat tersebut? Ketika kita ingin menempatkan sang tokoh di desa, yakinkan bahwa memang ia berada di desa dengan menceritakan sawah membentang, gunung di horison, pepohonan yang masih rimbun, kawanan sapi, dan lain sebagainya.

(3) Objek-objek yang ada di tempat tersebut; alias benda apa pun yang terlihat atau bisa disentuh oleh tokoh. Misal, dalam cerita, kita hendak menggambarkan sang tokoh menunggu pacarnya di sebuah taman, seperti apa tamannya? Apakah terletak di bawah jembatan layang berdebu, yang didominasi oleh beton dengan kursi-kursi berwarna-warni ala Taman Jomblo di Bandung?  Tentunya objek-objek yang ada sangat berbeda jauh dengan, misalnya Central Park di New York. Jangan bilang tokoh naik carousel  atau memandangi deretan tulip di Taman Jomblo, soalnya… nggak ada! 😀

(4) Kondisi sosial dan budaya, misal hukum atau aturan yang berlaku di tempat tersebut, kondisi politik dan pemerintahan, pendidikan, teknologi, perang, aktivitas sosial, agama, pendidikan, dan lain sebagainya.  Jadi, pacar karaktermu akhirnya datang ke Taman Jomblo (Ha! Taman Jomblo lagi, Taman Jomblo lagi!), kemudian, karena rindu yang sudah membuncah, mereka berciuman mesra – french kiss di sana? Well, okay. Mungkin saja hal ini bisa terjadi, tapi disorakin. Atau dipandangi malas oleh orang lain.

Sementara yang termasuk setting ‘waktu’, meliputi:

(1) Era atau masa tertentu dalam ceritamu. Misal era Wild West, Perang Dunia I, Masa Orde Baru di Indonesia, dan seterusnya.

(2) Waktu kejadian; hari, jam, malam, siang, subuh, spesifik tahun 2007, atau musim tertentu.

Tempat dan waktu tentu saja tidak bisa dipisahkan. Ketika kita menentukan plot dan karaktermu berada di Jakarta pada masa kolonialisme, tentu saja penggambaran setting-nya akan berbeda dengan jika plot karaktermu berada di Jakarta pada masa kini.

Dan tentu saja, setting (baik waktu dan tempat), tak dapat juga dipisahkan dari plot dan tokoh.
Kita bisa memunculkan bagaimana sifat tokoh melalui setting, dengan menunjukkan bagaimana kondisi psikologisnya.

        Ruangan ini sungguh sesak, musik menggelegar dari speaker, asap rokok terlihat seperti kabut saja layaknya suara orang mengobrol dan tertawa memenuhi ruangan, wajah-wajah mereka terlihat bersemangat. Semua happy, tertawa keras-keras, berdansa dan minum bir. Kecuali aku. Aku benci keramaian. Napasku tersengal. Aku ingin pulang. Aku merindukan kamarku yang sunyi.


 

Bisa menebak, seperti apa sifat sang tokoh?
Kita bisa memunculkan setting melalui tokoh, dengan mendeskripsikan cara ia melihat apa yang ada di sekelilingnya.

        Sejauh mataku memandang, hanya gedung-gedung pencakar langit yang tingginya seolah-olah berlomba mencapai langit. Pepohonan merupakan hal yang langka di sini. Udara dipenuhi oleh asap knalpot hitam yang keluar dari metromini, bajaj, dan bus kota. Panasnya begitu menyengat. Jakarta telah jauh berbeda dari saat aku meninggalkannya tiga puluh tahun yang lalu.


 

Kita bisa memperkuat plot dengan setting.

       “MALIIING!” terdengar suara melengking. Para pembeli  otomatis melongok ke arah sumber suara. Tiba-tiba seorang bocah laki-laki berlari ke arahku, di tangannya terdapat sebutir telur ayam. Kakinya mencipratkan air amis yang menggenang di lantai. Di belakangnya, sekumpulan pria-pria bersinglet dengan noda darah hewan mengejar sambil mengacungkan bedog, mereka berlari dengan liar, menendang ember-ember plastik berisi es batu dan ikan dan menabrak keranjang sampah…


 

Bisa menebak ada kejadian apa dan di mana?

Untuk latihan, bagaimana kita membangun suasana suram dan mencekam di sebuah apartemen yang sudah lama tidak ditinggali, tanpa menyebutkan ‘apartemen ini gelap dan mengerikan’? Hayoo! 😀
Anyway, jadi jelas, setting juga merupakan hal yang tidak boleh luput dari perhatian.

Kalau saya pribadi, biasanya untuk setting saya menyiapkan lembar pertanyaan untuk keperluan riset setting. Lembar pertanyaan ini kurang lebih berisi pertanyaan yang berkaitan dengan setting, seperti negara/kota mana, bagaimana kondisi lokasi, interior dan eksterior gedung, tahun berapa cerita yang akan saya buat dan seterusnya. Kurang lebih list pertanyaannya bisa dilihat di http://www.the-writers-craft.com/support-files/setting.pdf  

Nah, satu lagi, kalau saya pribadi suka menyiapkan mood board yang selalu saya letakkan di dekat saya saat menulis. Mood board adalah kumpulan gambar yang saya dapat tentang setting tersebut, dari kondisi kota, peta, manusia-manusianya, aktivitas sosial dan lain sebagainya. Ini sih supaya saya bisa memvisualisasikan setting dan membuat saya seolah-olah berada di sana.