Dua seri The Glam Girls sudah hadir di hadapan kamu semua. Yang teranyar adalah REPUTATION karya Tessa Intanya yang diterbitkan oleh GagasMedia.
Jika pada seri perdana yang berjudul Glam Girls karya Nina Ardianti kamu disuguhi kisah tentang Adrianna, cewek pintar yang mulai menjadi sorotan karena masuk ke dalam kelompok Rashi. Nah, di novel kedua ini kamu bisa membaca serunya cerita Rashi.
Di novel Reputation ini, kehidupan Rashi benar-benar bergejolak. Semua Rashi hater menyerangnya melalui sebuah situs. Belum lagi persoalan keluarga besar Pradakso yang membuat Rashi kesal. Tapi bukan Rashi namanya jika tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menghadangnya.
Nah, di balik semua cerita mengesankan ini, kurang seru kayaknya kalau nggak ngobrol langsung dengan penulisnya. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Nina Ardianti penulis Glam Girls dan Tessa Intanya penulis Reputation.
Tanya (T): Bagaimana sih awal cerita kamu bisa sampai menulis seri The Glam Girls ini?
Jawab:
Nina Ardianti (Nina): Awalnya sih, ada tawaran dari Christian, editor-nya Gagas. Dia datang dengan sebuah ide untuk membuat satu serial. Nggak seperti serial pada umumnya, serial ini akan terdiri dari tokoh-tokoh yang berbeda dan penulis yang berbeda pula. Sempat bingung sih sebenernya, ini bakalan jadi kaya apa ya? Tapi ketika Christian mengundang Tessa dan Woro untuk di-brief bareng, baru deh kebayang, serial apa yang dimaksud.
Tessa Intanya (Tessa): Awalnya setelah saya selesai merampungkan novel adaptasi film LIAR pada pertengahan 2008 lalu, saya dihubungi oleh pihak GagasMedia (Christian Simamora) untuk bergabung dalam proyek baru Gagas yaitu, Clique-Lit. Selain saya, ada dua penulis lain yang ternyata juga diajak serta untuk mengerjakan proyek Clique-Lit ini, Nina Ardianti dan Woro Liana. Dari situ kita berempat mulai sering ketemuan dan brainstorm bareng untuk penggarapan seri ini.
T: Di novel ini kan ada tiga tokoh paling dominan, mengapa Nina memilih Adrianna dan Tessa memilih Rashi?
Nina: Waktu di-brief pertama kali, Christian memberikan gambaran—akan seperti apa serial ini. Terus kita diskusi, umumnya karakter dalam teen movies atau teen literature itu bisa dibagi menjadi beberapa karakter utama. Woro memilih pertama, saya yang kedua, dan Tessa—yang udah nggak ada pilihan lain—akhirnya mendapatkan our queen bee, alpha female character 😀 Nggak ada alasan khusus untuk memilih beta female character sih, hanya saja ketika membahas tentang karakter ini, tiba-tiba langsung kebayang aja gambaran Adrianna di kepala saya.
Tessa: Kenapa ada 3 karakter dominan dalam seri ini memang disengaja, agar masing-masing karakter bisa digarap oleh penulis yang berbeda-beda. Diharapkan dengan ini, masing-masing karakter yang ada bisa semakin fokus pengembangannya dan tidak subjektif. Sebenarnya dalam kasus ini saya terpilih untuk mengarap tokoh Rashi. Bukannya memilih. Walau awalnya sempet kerepotan men-develop karakter Alpha Female yang serba segalanya, namun pada akhir proses saya cukup puas dengan tokoh Rashi.
T: Seperti apa sih sebenarnya tokoh Adrianna dan Rashi ini, serta bagaimana ceritanya hingga kamu bisa menemukan karakter yang pas buat kedua tokoh itu?
Nina: Patokan utamanya adalah beta female character. Browsing dulu buat nyari sebenernya karakter ini kaya apa sih. Nah, baru dari situ dikembangkan lagi. Ada beberapa strong point Adrianna yang saya tentukan dulu: pintar (agak nerdy yang cenderung ‘normal’), tough, rasional dan cenderung mandiri. Baru dari situ diperluas lagi dengan segala detailnya, gimana latar belakangnya, keluarganya, lingkungan tempat dia tumbuh. Yah, stuffs like that. Semuanya dijabarin dengan detail, sampai gimana potongan rambutnya, suka merk apa aja, tipe cowok ideal, wah pokoknya semuanya deh. Terus diajukan deh proposalnya ke Christian, hanya untuk dibantai sesudahnya. Hahaha… Tapi habis itu kita semua diskusi, bareng Tessa dan Woro juga. Satu sama lain saling kasih masukan sampai akhirnya keluar formula yang pas.
Tessa: Rashi itu… miss popular but with an edge! Dari awal, saya memang ingin sekali membuat ‘twist’ tersendiri dalam penokohan Rashi. Seorang gadis remaja populer yang dari luar terlihat punya segalanya, cenderung sempurna, happy, puas diri dan terkadang terkesan bodoh serta ignor-an. Tapi sesungguhnya Rashi itu punya sisi yang rapuh, sedikit kelam dan tidak sebodoh yang orang lain kira. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menemukan gambaran yang pas untuk Rashi… Proses penokohan Rashi sempat membuat saya sedikit kewalahan, karena saya benar-benar tidak ingin Rashi menjadi tipe miss popular yang stereotypical. Harus ada ‘keunikan’ (atau lebih tepatnya ‘kenanehan’) tersendiri dari karakternya. Menurut saya faktor ini yang akan membuat Rashi tampak lebih manusiawi dan real.
T: Apakah kamu melakukan riset terlebih dahulu mengingat novel ini sangat berbeda dengan novel-novel kebanyakan? Kalau iya, berapa lama dan dari mana saja referensinya?
Nina: Pengennya sih nggak pakai riset segala, tapi apa daya. Berhubung masa SMA saya sudah lama berlalu, jadinya terpaksa ‘memudakan’ diri kembali. Saya baca-baca teenlit luar, mulai dari serial Private sampai The Clique. Membeli majalah-majalah remaja, supaya bisa merasakan taste anak SMA, hahaha… Juga baca buku-buku self-help, self-motivation yang ngomongin tentang peer pressure dan semacamnya. Juga ada transkrip interview dengan guru di sebuah sekolah internasional—yang diterjemahkan dengan bebas oleh Christian kepada kami semua. Itu semua berapa lama, ya? Yah beberapa bulan lah… Paralel sambil nulis novelnya juga.
Tessa: Melakukan riset, sudah pasti. Bahkan cukup banyak bagian dari novel ini yang memang ada karena riset yang saya lakukan sebelum merampungkan REPUTATION. Seperti dalam hal fashion, yang menjadi aspek besar dalam kehidupan Rashi, dan banyak lainnya. Untuk waktu pembuatan Rashi (dan seri The Glam Girls secara keseluruhan) bisa dibilang cukup lama karena memakan waktu sekitar 7 – 8 bulan. Untuk referensi saya banyak dibantu dengan membaca pembedahan tipe karakter-karakter Alpha Female (dari beberapa judul buku) dan tentu saja dengan observasi (orang-orang yang saya kenal, tipe perempuan yang menonjol dan dominan ditengah teman-temannya yang lain).
T: Dari semua tokoh yang ada di dalam novel ini, tokoh mana yang paling kamu sukai dan kenapa?
Nina: Hahaha, siapa yaaa? Saya suka semuanyaaa… 😀 Rashi, Adrianna dan Maybella itu tokoh yang unik. Agak susah juga kalau disuruh milih yang paling disukai. I just love them all.
Tessa: Tentu saja saya harus bilang, Rashi. Tapi, sebenarnya saya juga menyukai kedua tokoh lainnya… Saya suka dengan karakter Adrianna karena karakter Ad yang paling netral, dalam artian konflik yang ia hadapi paling banyak bisa di-relate sama perempuan muda seusianya. Saya juga mengagumi karakter Maybella karena sebenarnya May-lah lem perekat ditengah clique mereka bertiga.
T: Ada kesulitan nggak saat kamu menggambarkan sosok Adrianna dan Rashi dalam seri The Glam Girls ini?
Nina: Nggak terlalu susah pas menggambarkannya, yang susah itu adalah menahan supaya karakter saya nggak muncul di dalam tokoh Ad, hahaha… Kebiasaan saya untuk berbicara dan menulis panjang lebar kayanya nggak cocok buat Adrianna. Sebenarnya, sebelum menulis serial pertama Glam Girls, saya sudah menyelesaikan cerita tentang Adrianna. Namun karena pertimbangan ingin memberikan pembaca kisah utuh—mulai dari pertama kali Rashi, Adrianna dan Maybella berkenalan sampai akhirnya menjadi clique—maka saya ‘ditugaskan’ untuk membuat prekuelnya. Ini yang agak berat, karena saya belum pernah membayangkan bagaimana mereka bertiga bisa bertemu, hehehe…
Tessa: Bisa dibilang cukup banyak kesulitan yang saya hadapi saat menggarap sosok Rashi. Untung saja saya bisa sharing dan terus brainstorm bareng dengan Christian, Nina dan Woro. Mereka banyak sekali membantu saya, terutama disaat-saat saya sepertinya sudah mencapai titik buntu dalam penulisan Reputation.
T: Bagaimana sih membuat karakter yang kuat untuk seorang tokoh novel, seperti halnya Rashi di seri Glam Girls?
Nina: Yang pertama sih pastinya tentukan karakternya seperti apa, garis besarnya, baru kemudian di-break down. Detail-in aja semuanya, dan jadiin itu guideline. Yang paling susah sih, me-maintain karakter itu di dalam cerita. Jadi, tetap harus strict kepada guideline dan minta pendapat orang lain. Kalau buku ini, saya dibantu banget oleh pendapat Christian, Tessa dan Woro.
Tessa: Seperti yang dibahas diatas, memang dibutuhkan banyak referensi dan brainstorming untuk mewujudkan karakter yang kuat. Saya hanya bisa berharap para pembaca Reputation bisa mendapatkan kesan seperti itu saat mereka membaca kisah Rashi. Dalam Reputation saya ingin coba menjelaskan mengapa Rashi bisa tumbuh menjadi dirinya yang sekarang. Semoga hal ini bisa ditangkap oleh para pembaca dengan baik.
T: Apa pendapat kamu tentang novel ini?
Nina: Dari pertama kali diajak bergabung, saya udah suka banget dengan idenya. Serial yang ditulis oleh penulis yang berbeda, dengan perspektif yang berbeda pula. Mengenai tema, kesannya buku ini memang menjual ‘mimpi’ ya, tapi sebenernya bukan itu message yang ingin disampaikan. Selama menulis novel ini, saya kembali berpikir ulang tentang makna persahabatan, terutama untuk anak SMA yang peer pressure-nya kayanya berat banget ya. Berpikir juga mengenai hubungan orang tua – anak, keluarga dan bagaimana menghadapi hidup di mata seorang anak SMA. Semuanya ada di novel ini, nggak hanya sekedar menjual cinta-cintaan yang dangkal, tapi lebih kepada how they live their life. Dan bagaimana mereka menghadapi semua masalah yang mungkin muncul.
Kalau di luar sana banyak yang menganggap ini mirip Gossip Girl atau apapun lah, sah-sah aja menurut saya. Walaupun kalau boleh menyangkal, itu sama sekali nggak bener. Wong, baca bukunya aja saya nggak pernah. Nonton serialnya juga cuma beberapa kali. Tapi saya menganggap semuanya masukan. Glam Girls memang masih banyaaaak banget kekurangannya, but hey… we’re trying hard to make it perfect. Semakin banyak yang berkomentar—baik pro maupun kontra—akan semakin baik serial ini. The more the merrier, hehehe…
Tessa: Apapun pendapat saya akan novel Reputation, rasanya ngga akan valid. Kalau saya bilang bagus, kesannya terlalu percaya diri banget… Tapi kalau saya bilang biasa saja atau jelek, sama aja dengan menjatuhkan diri sendiri. Saya pribadi sih hanya bisa berharap yang beli/baca, ngga akan merasa menyesal karena udah ’membuang’ waktu/uang mereka demi novel ini.
Satu hal yang ingin bahas mengenai seri ini… Saya cukup sering dengar/baca sejak awal terbit adalah bagaimana beberapa orang kerap menyamakan/membandingkan seri ini dengan seri Gossip Girls (yang memang sedang populer). Kenyataannya, menurut saya formula genk cewek atau yang sekarang disebut clique ini sudah ada jauh lama sebelum seri Gossip Girls muncul. Film-film seperti Clueless, Mean Girls dan buku-buku seperti serial The Clique, dan lain-lainnya. Formula karakter Alpha Female (Queen Bee), karakter beta dan karakter penggembira memang sudah ada sejak lama. Jadi saya tidak setuju jika seri ini dibilang menjiplak seri Gossip Girls… Terinspirasi iya, tapi tidak menjiplak. Jujur saja, saya sendiri bahkan belum pernah membaca ataupun menonton seri Gossip Girl, walaupun saya tahu premis ceritanya.
Jika ditanya soal kemiripan ini dan di-challenge mengenai orisinalitas seri kami, saya hanya bisa mengutip salah satu quote favorit dari filmmaker Jim Jarmusch: ”Nothing is original (these days). Authenticity is invaluable; originality is non-existent.”
Saya mengartikan quote ini dalam artian bahwa jaman sekarang sudah jarang sekali (mendekati tidak mungkin) untuk membuat sesuatu yang benar-benar pure orisinil. Karena apapun itu pasti sedikit/banyak akan terinspirasi dari karya lain…
T: Apa benang merah dari masing-masing seri Glam Girls ini?
Nina: Singkat aja sih, seperti quote klasik, never judge the book by its cover. Apa yang terlihat di luar, belum tentu sama di dalamnya. Itu yang Adrianna temukan di Rashi dan Maybella. Dan satu lagi: don’t be afraid of being what you wannabe. Pengaruh dari luar mungkin bertubi-tubi, just take a deep breath, nggak ada yang salah dengan menjadi diri sendiri. Tapi dalam arti yang positif, ya! 🙂
Tessa: Reputation sendiri merupakan perpanjangan dari seri pertama, dimana cerita pada novel ini mengambil waktu sekitar 3 bulan setelah kejadian seri pertama. Bedanya hanya pada point of view (POV) karakter, jika di buku pertama pembaca diajak serta melihat dunia Voltaire International School dari ’kacamata’ Adrianna, kali ini melalui POV Rashi. Dan pada seri ketiga nanti, dari POV Maybella.
T: Menurut kamu, bagaimana dengan kelanjutan dan akhir cerita dari seri Glam Girls ini?
Nina: Wah, kalau ditanya bagaimana kelanjutannya, susah juga yaaaa… maksudnya ini masih open banget. Segala kemungkinan bisa terjadi. Makanya, tungguin terus GG ya, heheh…
Tessa: Kelanjutannya… sudah bisa dipastikan, seru banget! Akhir ceritanya harus dicari tahu sendiri, tentunya. Yang jelas, worth to wait and anticipate! So, keep supporting seri The Glam Girls ini yaaa… Thank you all!
So, gimana, seru kan wawancaranya? Makanya, nantikan deh seri The Glam Girls selanjutnya, Unbelieveble karya Woro Liana. Bagi yang belum punya novelnya, buruan deh beli. Jangan sampai kamu melewatkan cerita seru dan mengesankan dari seri The Glam Girls ini!