Murjangkung, manusia raksasa berkulit bayi, memimpin pendaratan di pantai bersama para pemabuk lainnya. Ia membeli dari Sang Pengeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai. Di sana, ia mendirikan rumah gedong dan memagar tanahnya dengan dinding putih tebal dan menghiasi dinding pagarnya dengan pucuk-pucuk meriam.
“Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi tinggi sekali,” kata Sang Pangeran setelah Murjangkung dan beberapa pemabuk datang menemuinya. Di tahun berikutnya, Murjangkung mulai memancing keributan atas tanah yang ditempatinya. Ia mengarahkan pucuk-pucuk meriamnya ke istana kayu Sang Pangeran. Putus asa menghadapi raksasa bayi yang ternyata tidak selucu dugaannya, Sang Pangeran murung beberapa waktu dan kembali bahagia ketika ada rombongan pemabuk berikut yang singgah di pantainya.
Sang Pangeran menyerahkan tanah di tepi barat sungai. Mereka juga membangun gedong, yang sama kuatnya dengan gedong Murjangkung di seberang. Para penghuni dua gedong yang saling berhadapan itu sama-sama suka berpesta dan mereka saling melempar caci melalui mulut anak-anak kampung yang mereka bayar. Akhirnya, seciprat ludah telah mendarat di dahi Murjangkung hingga mengakibatkan pertempuran. Seperti mendapatkan perintah langsung dari Tuhan, Murjangkung seketika menyerukan komando, “Tembakkan meriam!”
Begitulah riwayat ringkas penghancuran dan bagaimana Murjangkung akhirnya jadi penguasa di kota baru yang ia dirikan. Ia memegang kendali di sana. Kota berjalan tertib dan tenang. Ia mengendalikan orang-orang di luar pagar dengan ketegasan gembala pemuja kemurnian ras. “Keledai harus dikumpulkan dengan keledai,” katanya.
Murjangkung tidak mati di dalam pertempuran, tapi gugur dengan cara ironi. Ia mati karena terserang cacingan dan disentri. Di kotanya muncul wabah karena masalah kanal yang bau menyengat akibat kotoran dan sampah. Murjangkung Jr., sang pengganti, memindahkan pusat pemerintahan ke depan kota sebuah tanah lapang dan memesan patung singa memeluk dunia dari perunggu demi mengenang Murjangkung.
Demikian sekilas cerita pendek yang dirajut oleh A.S Laksana di dalam “Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu”. Dengan apik, ia memilih kata dan merangkainya menjadi cerita yang greget bermuatan sastra. Tidak heran, buku kumpulan cerpen pertamanya, “Bidadari yang Mengembara” mendapatkan penghargaan buku sastra terbaik tahun 2004 versi majalah Tempo.
Tokoh-tokoh dalam Murjangkung dihadir-kembangkan dalam porsi yang seimbang dengan unsur cerpen lainnya: deskripsi, plot, dan ending. Murjangkung merupakan penjelmaan metafora konflik antara Belanda dan pribumi di tanah Batavia. Di dalam #HiMurjangkung, @aslaksana mengatakan bahwa Murjangkung adalah sebutan untuk nama J.P.Coen bagi orang Jawa.
Di dalam buku ini, Anda akan disuguhi 20 cerpen, mulai dari Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, Otobiografi Gloria, Dongeng Cinta yang Dungu, Perempuan dari Masa Lalu, Dua Perempuan di Satu Rumah, Kisah Batu Menangis, Efek Sayap Kupu-kupu, hingga Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar.