Tanah lahir Thoriq, seorang jurnalis dari media Suara Gaza, mulanya merupakan tanah subur dan ditumbuhi pepohonan berbuah manis. Kehidupan berjalan harmonis diiringi suara riang anak-anak berlarian menyusuri tanah lahirnya. Tak pernah menyangka, suatu hari akan datang merenggut keharmonisan di tanah itu. Langit yang cerah seketika berubah keruh dan burung-burung tak lagi bisa berkicau dengan bebas. Anak-anak itu tetap berlarian, kali ini bukan senyum yang menghiasi wajah polosnya. Hanya ketakutan dan tangis pilu karena satu per satu bangunan yang mereka sebut ‘rumah’, luluh lantak tak bersisa.
Sebagai jurnalis, Thoriq merasa perlu menyuarakan kebenaran. Bersama sahabatnya, Jamal, mereka berjuang memperbaharui narasi jurnalistik tentang Palestina yang mulai dituding drama dan hanya membuat kasihan. Suatu malam, sang Redaktur menelepon dan mengatakan bahwa akan ada peristiwa besar esok pagi, tepat subuh tanggal 7 Oktober! Ketika menghadapi pagi itu, ternyata pertempuran pecah, kali ini dimulai dari pihak Gaza yang menyerang.
Kalut menghinggapi pikiran Thoriq tatkala dirinya harus terpisah dengan teman, keluarga, dan tunangannya, Syaima–seorang aktivis sosial sekaligus penanggung jawab pengungsi di Rumah Sakit Syifa–tempat para korban penyerangan dilarikan.
Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk bertahan? Mampukah Thoriq, Jamal, dan Syaima tetap berpegang teguh membela tanah kelahirannya?