“Sandiwara lo, tuh, buat apa?”
“Siapa yang sandiwara? Gue lagi nggak sandiwara.”
“Bebas, deh, Lang. Gue males banget berurusan sama lo lagi.”
“Ya, ampun, Gat. Lo masih nggak bisa liat apa yang lagi terjadi sekarang?”
Setelah mendengar perkataan Gilang, alis Gatari mengerut. Ekspresi wajahnya perlahan berubah bingung.
“Lo pikir kita ngapain di sini? Makan-makan cantik?” Gilang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Lo nggak liat gue disuruh serapi ini buat siapa?”
Gatari semakin bingung. Jangan-jangan… ah, nggak mungkin! Gue nggak hidup di zaman Siti Nurbaya!
“Buat lo!” sembur Gilang meninggi tepat di depan wajah Gatari. “Buat orangtua lo!”
Bibir Gatari yang terkatup perlahan terbuka. Namun, tidak ada suara yang terdengar dari mulutnya. Perempuan itu menatap kedua mata Gilang sambil berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya agar tetap bisa berdiri dengan sepatu setinggi sepuluh sentimeter.
“Selamat, Gat. Harapan lo untuk nggak berurusan sama gue lagi, hilang malam ini juga.”
****
Malam itu mengubah hidup Gatari selamanya. Ia tidak habis pikir orangtuanya tega menjodohkannya dengan Gilang, si pembuat onar di sekolah. Bagaimana bisa? Hanya kata-kata itu yang memenuhi kepalanya. Sampai kapan pun ia tidak akan pernah menerima dan memaafkan Gilang. Laki-laki yang sudah mempermalukannya di depan teman-teman sekolah, dengan mendaratkan bibirnya di wajah Gatari.