Pernah nggak sih kamu merasa lelah, tapi bahkan tidur panjang pun tidak benar-benar membuatmu pulih? Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menumpuk di dada—pelan, tapi pasti—hingga tanpa disadari kamu mulai kehilangan energi untuk sekadar tersenyum. Banyak dari kita pernah berada di titik itu. Titik di mana mengeluh saja terasa melelahkan.
Sebagai anak muda, kita sering hidup dalam standar “harus kuat”, “harus bisa”, “harus tahan banting”. Kita mengejar banyak hal sekaligus: mimpi, ekspektasi orang tua, tekanan sosial, pertemanan yang berubah, cinta yang kadang tak berjalan baik, dan ketakutan akan masa depan yang belum jelas bentuknya. Kita berusaha terlihat baik-baik saja, padahal di balik layar hati kita sedang berjuang keras untuk tetap bertahan.
Buku Aku Terlalu Lelah Untuk Mengeluh karya @penyambutsenja terasa seperti pelukan lembut untuk siapa pun yang sedang berada di fase itu. Ia tidak menggurui, tidak menyuruhmu untuk langsung bangkit, atau memaksa senyum ketika kamu bahkan tak punya tenaga untuk sekadar mengangkat kepala. Buku ini hadir sebagai ruang aman—tempat di mana kamu bisa duduk sejenak, bernapas, dan berkata jujur: aku lelah.
Ada kutipan dalam buku ini yang menggambarkan banyak hal yang sering kita rasakan tetapi tak pernah kita ucapkan. Momen ketika kita berkata pada diri sendiri, “Aku tidak apa-apa,” meskipun air mata perlahan turun. Atau ketika kita membisikkan “Aku pasti bisa,” padahal isak tangis justru semakin keras. Kamu mungkin pernah melakukannya—memaksa diri untuk kuat karena takut dianggap menyusahkan, atau menahan tangis karena merasa bahwa menangis adalah tanda kelemahan.
Lalu muncul satu pertanyaan yang sering menghantui banyak orang:
“Mengeluh itu berdosa? Apa aku makin salah kalau aku merasa lelah?”
Pertanyaan itu pelan-pelan tumbuh di kepala, membuat kita semakin menekan diri sendiri. Kita jadi percaya bahwa mengeluh sama artinya tidak bersyukur. Kita takut suara lelah kita justru dianggap kurang iman, kurang sabar, atau kurang kuat. Padahal, tidak ada manusia yang mampu menahan semuanya sendirian.
Mengeluh bukan berarti kamu tidak bersyukur. Mengeluh juga tidak menjadikanmu buruk. Mengeluh adalah cara hati meminta pertolongan. Cara tubuh menunjukkan bahwa batasnya mulai terlampaui. Cara jiwa memberi sinyal bahwa ia butuh istirahat.
Yang membuat kita merasa bersalah bukan keluhannya, tapi standar ketidakmanusiawian yang kita pasang untuk diri kita sendiri.
Sering kali, anak muda terbiasa meredam perasaan mereka sendiri. Kita tumbuh dalam budaya yang mengajarkan untuk bersabar, menahan, dan tetap berjalan meski hati ingin menyerah. Kita menekan rasa kecewa, memendam luka, menumpuk ketidakpastian, dan berharap semuanya membaik dengan sendirinya. Tetapi ketika tumpukan itu semakin tinggi, tubuh dan pikiran kita mulai berteriak: berhenti dulu. Dengarkan dirimu. Kamu juga butuh ruang bernapas.
Itulah esensi dari buku ini—mengajakmu untuk memberi jeda. Untuk memperlambat langkah. Untuk menerima diri apa adanya, dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Salah satu pesan terpenting dari buku ini adalah bahwa tidak apa-apa merasa lelah. Tidak apa-apa merasa tidak kuat setiap saat. Tidak apa-apa menangis. Tidak apa-apa mengeluh. Karena mengeluh juga adalah bagian dari menjadi manusia. Yang tidak apa-apa justru memaksa diri terlihat baik-baik saja ketika kamu hampir runtuh di dalam.
Buku Aku Terlalu Lelah Untuk Mengeluh mengingatkan kita bahwa kita punya hak untuk merasa, hak untuk berhenti sejenak, hak untuk mencari pelukan, hak untuk mengistirahatkan jiwa yang mulai retak. Kelelahan yang kamu rasakan bukan tanda bahwa kamu gagal menjadi dewasa. Itu adalah tanda bahwa kamu telah berjuang terlalu keras dan terlalu lama tanpa memberi ruang pada dirimu sendiri.
Setelah semua tangis yang akhirnya reda, buku ini memberikan satu nasihat kecil tapi berarti: jangan lupa tersenyum kembali. Bukan senyum terpaksa, bukan senyum demi membuktikan sesuatu, tapi senyum ringan yang muncul setelah kamu belajar menerima bahwa dirimu berharga, bahkan dalam kondisi paling rapuh sekalipun.
Jika akhir-akhir ini kamu merasa terlalu lelah untuk mengeluh, atau justru merasa bersalah karena mengeluh, percayalah: kamu tidak salah. Kamu hanya manusia yang sedang berusaha. Dan berusaha adalah hal paling berharga yang bisa dilakukan siapa pun.
Sebelum melanjutkan hidup, sebelum kembali menghadapi dunia yang tak selalu ramah, tepuklah bahumu sendiri. Katakan dengan lembut:
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”
Karena kamu tidak harus kuat setiap hari. Yang penting, kamu tidak berhenti mencoba. Itu sudah lebih dari cukup.

