Wilhelmina, kapal tercepat armada V.O.C, sedang bersandar di Bandar Cirebon bersama tiga belas kapal V.O.C lain. Mereka baru saja berhasil membuat Sultan Hasanuddin menyerah. Kapten Speelman adalah orang yang berada di balik keberhasilan kemenangan V.O.C menumpas Kesultanan Gowa. Dia juga merupakan kapten dari Wilhelmina.
Speelman sedang asyik melihat koleksi barang antik di sebuah toko. Pemiliknya seorang pria Cina tua bernama Hong Peng Cun. Matanya lalu tertuju pada sebuah buku jurnal. Dia membuka-buka buku tersebut dan langsung terpaku pada sebuah gambar. Dia pernah melihat gambar tersebut sebelumnya di Keraton Mataram. Tanpa berpikir panjang, Speelman langsung menebus buku jurnal tua tersebut seharga dua ratus real.
Nantinya kita akan mengetahui buku jurnal tersebut ternyata sebuah kisah yang bermula dari pemberontakan Kediri pada Kerajaan Singosari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit. Serta rahasia di balik kesuksesan Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang dan berbagai kesuksesannya yang lain. Ternyata kesuksesan Raden Wijaya didapat dari sepuluh bilah keris yang diberi nama Cakar Wengi.
Lalu, apa kaitannya dengan bajak laut? Tokoh utama kita adalah seorang bajak laut yang aneh. Namanya Jaka Kelana. Dia memimpin awak kapal perompak yang disebutnya Kerapu Merah. Anak buahnya sendiri tidak kalah aneh dari Jaka. Mereka adalah Aceng, Abbas, Lintong, dan Surendro.
Sayangnya, Kerapu Merah selalu gagal merompak kapal. Mungkin itu semua berkat keanehan pemimpin dan anak buah. Perompak mana yang sebelum melakukan aksinya selalu mengucapkan “Assalamu’alaikum” terlebih dahulu? Itulah Jaka yang terlalu sopan pada calon korbannya sendiri. Tidak hanya itu, Jaka dan anak buahnya terlalu pengecut dan mudah tertipu. Jelas sejak karirnya dimulai Jaka belum pernah pecah telur dalam usaha merompak kapal.
Jaka Kelana tidak mau menyerah. Demi gengsi dan demi memiliki reputasi keren di kalangan para perompak, Kerapu Merah melakukan tindakan kriminal serius pertamanya yang membuatnya dikejar-kejar kompeni. Ditemani tiga sosok misterius mereka harus berlayar dari satu pulau ke pulau lain. Perjalanan Kerapu Merah bersama tiga sosok misterius ini membawa Jaka Kelana dalam kisah buku jurnal tua yang tadi dibeli oleh Kapten Speelman.
Saya sangat terhibur membaca Bajak Laut & Purnama Terakhir. Lucu sekali! Selain lucu, ceritanya juga mengandung unsur sejarah yang merupakan pelajaran favorit saya waktu di SMP dulu. Awalnya saya sempat bingung bagaimana caranya Adhitya Mulya akan membuat cerita dengan menggunakan sejarah sebagai latar belakangnya? Saya tidak dapat menduganya sama sekali. Di dalam benak saya seharusnya sejarah itu serius.
Makanya di awal-awal cerita saya merasa biasa saja. Bahkan saya sempat berpikir gaya becandanya Adhitya Mulya gampang ditebak. Tetapi, semakin lanjut saya membacanya semakin saya terhibur dengan kekonyolan-kekonyolan Jaka Kelana dan awak Kerapu Merah. Saya sudah tidak bisa lagi menebak gaya lelucon dari Adhitya Mulya. Meski harus diakui “Dewa Ganteng”-nya Jaka ini terlalu norak dan memaksakan diri.
Konflik dibangun agak lambat. Baru sampai setengah buku dulu saya baru mendapat keterkaitan antara buku jurnal tua, Jaka Kelana, dan tiga sosok misterius tadi. Tiga sosok misterius itu adalah Rusa Arang, Bara Angkasa, dan Galuh Puspa. Setelah semuanya bertemu baru saya benar-benar dapat menikmati ceritanya. Saya tertawa puas sekali sampai membuat saya tak henti-hentinya mengumpat “Bego!” sambil memukul-mukul meja. Di lain kesempatan saya fokus dan serius menikmati cerita dari Rusa Arang yang mengisahkan tentang Kerajaan Majapahit.
Plot twist-nya juga bikin kaget. Ini apa-apaan ternyata musuh pamuncaknya ternyata adalah… Sudah! Baca sendiri deh biar kalian tahu. Kalau saya cerita, nanti jadi spoiler dan tidak seru lagi. Dan yang bikin saya lebih terkaget-kaget lagi soal Jaka Kelana. Benar-benar di luar dugaan. Pantas saja kalau diperhatikan betul-betul Jaka Kelana ini tidak sepenuhnya konyol dan serampangan. Jaka juga cerdas dan pemberani. Ini Adhitya Mulya kampret betul menggunakan peluru terakhirnya di tempat yang sangat tepat.
Kisah cinta tak berbalas Rusa Arang ke Galuh Puspa meski porsinya sedikit, tapi cukup memberi warna. Surat cinta Rusa Arang lumayan mengaduk emosi. Sedikit bikin baper. Suratnya juga cocok untuk dijadikan kutipan. Seperti di bagian ini:
Ada pesan yang tersimpan.
Dan selamanya akan tersimpan.Berisi cinta untukmu.
Cinta yang diam.
Cinta yang dalam.
Cinta yang tidak pernah padam. (hal. 287)
Bagian favorit saya ada di dua bab terakhir. Saya membaca bab “Menjadi Jelas” dan “Kabarnya” berulang-ulang. Karena di “Menjadi Jelas” membuat saya ber-O panjang, sementara di “Kabarnya” cara Adhitya Mulya menuliskannya sangat menyentuh. Meski hanya terdiri dari satu lembar, khusus di bab terakhir ini saya merasa gaya penulisan Adhitya Mulya sangat berbeda dibandingkan bab-bab sebelumnya. Saya menyukainya.
Porsi sejarah dan komedi dalam novel ini seimbang. Tidak berlebihan. Karena kalau sejarah terlalu dominan, tentunya novel ini bukan lagi novel komedi. Sebaliknya, kalau terlalu banyak unsur komedi, akan timbul pertanyaan buat apa dikasih embel-embel sejarah. Betul tidak? Oleh karena itu, Adhitya Mulya patut diacungi jempol. Well done, Sir!
Review Novel Bajak Laut dan Purnama Terakhir dari Kimi https://rangerkimi.wordpress.com/2017/02/07/47-bajak-laut-purnama-terakhir/
Foto depan: Putra Julianto (Gagasmedia)