Menggali Latar Lokal Bersama Farah Hidayati

farah-hidayati-thmb

“Cinta selalu seperti itu. Kau dipaksa menembus ruang-ruang waktu agar benar-benar tahu bagaimana cara yang benar untuk menyebut rindu.”

Kutipan tersebut diambil dari novel terbaru karya Farah Hidayati yang berjudul Jejak Hati. Sebuah novel yang mengambil sisi lokalitas kota Banjarmasin sebagai latarnya. Seperti apa serunya? Yuk, simak hasil wawancaranya bersama Farah berikut ini.

farah-hidayati-thmb“Cinta selalu seperti itu. Kau dipaksa menembus ruang-ruang waktu agar benar-benar tahu bagaimana cara yang benar untuk menyebut rindu.”

Kutipan tersebut diambil dari novel terbaru karya Farah Hidayati yang berjudul Jejak Hati. Sebuah novel yang mengambil sisi lokalitas kota Banjarmasin sebagai latarnya. Seperti apa serunya? Yuk, simak hasil wawancaranya bersama Farah berikut ini.

Jejak Hati bercerita tentang Melisa, seorang arsitek yang kebetulan adalah keturunan saudagar permata dan perhiasan berdarah Banjar. Ia berteman dengan Ryan, seorang teman kantor yang ingin melamar kekasihnya dengan cincin warisan nenek buyutnya. Tidak sengaja, Melisa justru terseret dalam cerita keluarga yang dibawa oleh cincin ini. Cerita yang berujung pangkal hingga ratusan tahun ke belakang, melibatkan keluarga Ryan dan juga Melisa.

Saat menulis Jejak Hati, Farah tidak menemukan kendala yang cukup berarti. Untuk draft awal saja, ia hanya butuh waktu enam sampai tujuh minggu untuk menulisnya sebelum diberikan kepada editor. Ada sebuah cara yang cukup ampuh untuk membuat ia lancar mengerjakan naskah. Ia menulis 4 halaman setiap harinya. Pada pukul 8 pagi, ia menulis cepat sekitar satu sampai dua jam. Dalam menulis cepat itu, ia tidak berpikir banyak dan juga tidak mengeditnya. Baru pada malam harinya ia edit. “Saya menulis cepat. Minimal 4 halaman dalam dua jam. Tanpa mengedit. Tiap hari seperti itu kecuali hari minggu. Hingga tuntas. Saya sisakan satu bab terakhir. Dua minggu terakhir dari 7 minggu itu saya membaca ulang, dan mengedit, kemudian merevisi bab pertama, lalu menulis bab terakhir” ujar Farah.

Mengumpulkan bahan untuk menulis novel biasanya memakan waktu yang cukup lama bagi para penulis. Namun ternyata Farah sudah lama memiliki bahan untuk novel Jejak Hati. Buku dan makalah tentang pelestarian budaya Banjar diberikan oleh teman-temannya. “Kopian buku tentang pendulangan intan misalnya saya dapat dari mantan teman sekelas saya ketika SMA Ersa Fahriyanur. Setumpuk makalah kebudayaan lainnya dari teman saya seorang guru SMA yang rajin memupuk bakat sastra dan kepenulisan di Kalimantan Selatan, Bapak Zulfaisal Putera,” tambah Farah.

Sebagai orang asli Banjar yang tumbuh dan besar di sana, Farah mengaku lumayan terbantu saat mengolah latarnya. Namun ternyata itu tidak banyak berperan. Ia pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut sebelum terpikir akan menulis novel. Saat itu ia hanya berkunjung dan mengobrol seputar tempat yang dikunjungi. Karena ia terkesan, maka Farah masih bisa merasakan atmosfer tempat-tempat tersebut. Info tambahan mengenai berbagai tempat itu ia dapatkan dari buku, makalah, berita, dan juga internet.

Melalui Jejak Hati, Farah menyampaikan pesan bahwa setiap benda sekecil apa pun, pasti memiliki cerita. “Lihat lebih dekat, karena dengan melihat lebih dekat kita akan bisa lebih menghargai apa-apa yang kita nikmati saat ini. Be grateful and take nothing for granted,” tutupnya.


jejak-hatiSeperti apa cerita pendulangan intan yang dikemas dalam kisah cinta ini? Temukan jawabannya dalam novel Jejak Hati karya Farah Hidayati.

beli

RACUN SANGGA