Chairil Anwar seharusnya berterima kasih kepada TBC yang merenggut nyawanya, kepada maut yang hanya memberinya kesempatan seperempat abad untuk hidup. Hingga hari ini, ketika teman-teman seangkatannya sudah sepuh bahkan sudah menyusulnya, tetap saja, Chairil tetap dan selamanya menjadi penyair muda; baik dari waktu berkarya maupun umurnya.
Chairil Anwar seharusnya berterima kasih kepada TBC yang merenggut nyawanya, kepada maut yang hanya memberinya kesempatan seperempat abad untuk hidup. Hingga hari ini, ketika teman-teman seangkatannya sudah sepuh bahkan sudah menyusulnya, tetap saja, Chairil tetap dan selamanya menjadi penyair muda; baik dari waktu berkarya maupun umurnya.
Ia tampaknya tidak keliru ketika mengatakan sekali berarti, sudah itu mati! Ia benar-benar berarti, meski hal itu tidak serta merta bisa diterjemahkan; Chairil berarti bagi semua orang. Paling tidak, ia telah membuat jalan kepenyairannya sehingga banyak orang yang patut berterima kasih karena melewati jalan itu.
Menjadi Chairil tidak harus menjadi orang yang berusia singkat. Yang ingin saya katakan lewat paragraf pertama tulisan ini sesungguhnya: berkaryalah hari ini, karena jika besok kau mati, kau telah membuat nisan yang jauh lebih baik dari pualam manapun. Chairil berkarya saat muda, mati saat muda, dan dilupakan tidak mudah. Saya mengatakan itu untuk diri saya sendiri dan tidak keberatan jika ada yang membacanya dan menginginkan buat dirinya pula.
Tahun 2012, ketika kelas XII SMA, ketika menerima beasiswa menulis dari Makassar International Writers Festival, saya mengenang masa kecil saya sebelum hari itu. Setiap menjelang tidur Ayah akan mengisahkan potongan-potongan kisah I La Galigo dan selalu dalam kepala kanak-kanak saya waktu itu ada suara yang mengatakan keren sekali bisa bikin cerita begitu, saya mau juga. Baru pada usia 18 tahun, saya mulai mewujudkan keinginan masa kecil saya menjadi Tukang Cerita, atau penulis.
Dari keinginan menjadi Tukang Cerita itu, saya mewujudkannya lewat karya-karya; puisi, cerpen, juga novel. Saya ingin terus berkarya, meski sampai saat ini saya masih terus belajar.
Tahun 2014 merupakan tahun yang barangkali akan susah saya lupakan dan tak henti saya syukuri. Setelah menerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014, novel saya Puya ke Puya menjadi salah satu pemenang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Lalu, pada Juni 2015 anugerah penulis cerpen terbaik Kompas 2014 dialamatkan kepada saya. Barangkali inilah usaha saya menjadi berarti, sebelum mati.
November ini, novel kedua saya, Pertanyaan kepada Kenangan, akan terbit. Novel yang merupakan bagian dari seri Indonesiana, GagasMedia, ini menceritakan kisah dengan berlatar lokal, dan saya memilih setting Makassar dan Toraja.
Pertanyaan seperti kok bisa seproduktif itu? selalu memaksa saya mencari jawaban meski selalu gagal menemukannya—karena memang—rasanya, saya tidak produktif. Barangkali, yang dilihat oleh orang-orang yang bertanya itu hanyalah kulit, sedangkan usaha-usaha saya selama beberapa tahun sebelumnya adalah isi yang selama ini tidak dilirik oleh orang lain.
Pada akhirnya: sudah Chairil kah saya? Semoga belum, saya tidak mau sudah itu mati. Besok dan hari setelah besok, masih banyak hal yang ingin saya pelajari dari banyak hal pula. Rasanya, ketika kita memutuskan berani muda, maka kita harus berani berkarya. Bila kita berkarya, disadari atau tidak; kita sudah memutuskan untuk berarti.
Makassar, Oktober 2015