Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati datang sedikit terlambat. Hadirin sudah memenuhi Auditorium Cakti Buddhi Bhakti di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Ada lebih dari tiga puluh meja bundar, masing-masing berisi sembilan sampai sepuluh orang. Belum lagi awak media yang menyelip-nyelip di sisi ruangan.
Auditorium itu betul-betul ramai. Mereka antusias dalam Dialog Perpajakan Perlakuan Pajak Bagi Penulis dan Pekerja Seni Lainnya. Padahal ia digagas Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) hanya dalam tiga hari. Keputusan kilat itu dibikin Menteri Mulyani Indrawati untuk merespons keluhan para penulis tentang pajak royalti yang membebani profesi mereka.
Seminggu sebelumnya, Selasa malam, 5 September, penulis Tere Liye memacak keluhan di Facebook. Dalam satu uraian itu, ia memutuskan untuk menarik 28 judul bukunya dari dua penerbit mayor, Gramedia Pustaka Utama dan Republika, per 31 Juli lalu. Buku-buku itu tak akan dicetak lagi, “dan dibiarkan habis secara alamiah hingga Desember 2017”. Keputusan Tere muncul karena menilai pajak terhadap penulis terlalu besar.
“Kalian harus tahu, penulis buku adalah orang paling dermawan kepada negara,” Tere membuka tulisannya.
Tere mengilustrasikan perbandingan pajak antara penulis dan sejumlah profesi lain: dokter, akuntan, arsitek, pengusaha, pengacara, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, artis terkenal, dan motivator. Dari hitung-hitungannya, penulis memang profesi yang pajaknya paling besar, jika pendapatan mereka semua disamaratakan Rp1 miliar per tahun.
“Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan 2 kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas,” tulis Tere.
Padahal, dalam sebuah buku, royalti yang diterima seorang penulis rata-rata hanya 10 persen dari harga penjualan. Sementara penerbit biasanya langsung memotong 15 persen dari pendapatan tersebut untuk pajak. Potongan itu yang menurut Tere terlalu besar, dan tidak peka pada siklus pendapatan profesi penulis.
“Catat baik-baik, penulis adalah profesi pekerjaan bebas, dia bukan karyawan tetap. Beda sekali sifatnya. Penulis bisa sukses, bisa gagal, bukunya bisa laku bisa tidak, penghasilannya bisa ada, lebih banyak tidaknya, tapi karyawan swasta dan PNS, gajinya pasti, tetap sifatnya, dan diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja,” tulis Tere.
Penggemar Tere kaget. Keluhan itu viral. Penerbit dan toko buku juga kena imbas—penarikan buku dari penulis produktif macam Tere pasti berdampak ke kas mereka. Tapi di saat bersamaan, keluhan Tere menjadi momentum para penulis lain membahas kemaslahatan hajatnya.
Dua hari usai unggahan Tere, giliran Dewi ‘Dee’ Lestari, penulis kenamaan lain, yang juga mengeluhkan pajak royalti penulis di akun Facebook dia. Kurang lebih isi curhatan Dee serupa Tere. Di dalam royalti yang cuma 10 persen, potongan 15 persen itu tidak adil menurut Dee, terlalu besar jika benar-benar melihat siklus pendapatan penulis yang biasanya baru dibayarkan satu semester sekali.
“Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal. Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung,” ungkap Dee.
Keluhan itu yang kemudian direspons Sri Mulyani.
“Kalau sudah dua penulis yang sedemikian laku bukunya bicara, itu sudah semacam fatwa,” ujar Mulyani.
Dalam acara Dialog Perpajakan, Mulyani tak cuma mengundang dua penulis tersebut—meski yang hadir hanya Dee, sebab Tere berhalangan. Tapi juga penulis dan pekerja seni lain, semisal penyanyi, pemain film, dan penerbit. Di kesempatan itu ia mencoba meluruskan lagi perhitungan pajak yang dibebani kepada profesi tersebut.
Menurutnya, perkara jerih payah penulis dalam mengumpulkan ide dan menulis naskah—seperti yang dikeluhkan Tere dan Dee—sudah diakomodasi Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak dengan menyediakan pilihan penggunaan potongan norma sebesar 50 persen.
Artinya, seluruh pendapatan penulis yang dihitung pada akhir tahun dapat dikurangkan 50 persen terlebih dulu sebelum akhirnya dipotong pajak. Misalnya, seorang penulis yang pendapatannya dalam setahun mencapai Rp1 miliar. Maka pendapatannya yang dikenai pajak adalah Rp1 miliar dikurangi 50 persen, alias Rp500 juta.
“Itu belum lagi dipotong PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak),” kata Ani.
Norma 50 persen tersebut dianggap negara sebagai modal seorang penulis dalam menghasilkan karya. Sementara PTKP adalah potongan Rp54 juta yang berhak didapatkan seluruh wajib pajak di Indonesia. Sebab, siapa pun warga Indonesia yang pendapatan per tahunnya tak mencapai Rp54 juta, ia tidak diwajibkan membayar pajak.
Hitung-hitungan di atas lengkap dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015.
Masalahnya, penyamarataan norma 50 persen belum cukup adil jika melihat siklus pendapatan penulis, kata Dee.
“Saya mengibaratkan kami—penulis—ini sebagai petani, Bu,” katanya langsung kepada Mulyani. “Kalau petani mungkin bisa dapat hasil kerjanya setelah panen, bisa empat bulan atau enam bulan jaraknya. Sementara penulis? Biasanya harus menunggu 18 bulan, baru bisa mencicipi apa yang dikerjakannya hari ini,” ungkap Dee.
Proses penerbitan sebuah buku, termasuk promosi dan penjualan, memang bisa makan waktu lama. Pada umumnya, penerbit juga baru melaporkan hasil royalti penulis sekali per enam bulan. Menurut Dee, hal itu harusnya bisa dikaji ulang agar tak terlalu mencekik para penulis.
“Karena, dalam masa 18 bulan itu, kami tetap ada pengeluaran,” tambah Dee.
Hal itu yang akhirnya membuat penulis mau tak mau mengkapitalisasi dirinya, dengan menerima pekerjaan lain. Misalnya: mengajar seminar, mengisi gelar wicara, memberi loka karya, menjadi motivator, menulis lepasan (dibayar putus dan bukan royalti) untuk perusahaan maupun perorangan, dan sebagainya.
“Sayangnya, enggak semua penulis bisa begitu, kadang ada yang memang cuma mengandalkan royalti sebagai penulis,” ujar Dee.
Sementara, menurut Mulyani, perkara siklus profesi penulis yang demikian tak bisa cuma diselesaikan di sektor pajak sendiri. “Perlu kementerian lain yang terlibat untuk sama-sama mengkaji lagi ekosistemnya secara keseluruhan.”
Kementerian Keuangan sendiri, kata Mulyani, bakal mengkaji ulang lagi terkait angka norma pada profesi penulis.
“Nanti kita akan lihat, apakah 50 persen norma itu masih mencukupi kebutuhan dari profesi penulis dan pekerja seni lain. Dan (akan melihat) apakah ada yang perlu direvisi untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk industri kreatif di Indonesia,” ungkapnya.
Solusi yang Tak Tersosialisasi
Sebelum pertemuan Rabu malam itu, Dewi ‘Dee’ Lestari juga sempat membahas penerapan norma 50 yang belum tersosialisasikan merata di setiap kantor cabang pajak.
Dee menilai dirinya beruntung karena ia paham regulasi tersebut dan lumayan terbantu dengan potongan 50 persen yang dianggap modal. Setidaknya, ia yang tak punya pembukuan secara rinci tentang modalnya dalam menciptakan sebuah naskah bisa meringkas menghitung pajak dengan norma tersebut.
Tapi, menurut Dee, ada sejumlah kawan penulis lain yang masih tak paham aturan itu karena sosialisasi yang kurang. Misalnya seperti yang dialami Trinity, penulis rangkaian buku perjalanan Naked Traveler.
Kepada saya, Trinity berkata akan menghitung lagi pajak yang sudah dibayarkannya selama ini dan menguranginya dengan perhitungan norma 50, pada akhir bulan September ini.
“Saya sebelumnya enggak tahu tentang hitungan itu kalau enggak baca dari tulisan Dee itu,” kata Trinity.
Sejauh ini Trinity belum bisa memastikan restitusi yang akan ditagihnya lagi, sebab ia masih harus mengumpulkan bukti-bukti potongan pajak yang didapatkannya dari penerbit.
Sri Mulyani mengakui kelalaian itu, dan memohon maaf atas ketidaknyamanan para penulis.
Aturan norma 50 memang baru bisa dipakai 2017, menurut Dee. Sebab sebelumnya, penggunaannya hanya bisa dipakai pada penghasilan nonroyalti.
“Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan—seperti yang dikeluhkan Tere Liye—maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut, untuk meninjau “Standard Operating Procedure” dalam penanganan masalah-masalah seperti ini,” tulis Mulyani pada akun Instagramnya.
“Saya mengambil tanggung jawab dalam hal ini. Kami harus memperbaiki,” tegasnya ulang dalam dialog Rabu malam itu.
Dee mengapresiasi pemerintah, terutama Kementerian Keuangan yang langsung merespons kegelisahannya, Tere Liye, dan kebanyakan penulis lain tentang pajak royalti penulis. Ia berharap dengan adanya pengkajian ulang tentang pola siklus penulis dapat menumbuhkan industri perbukuan Indonesia lebih geliat lagi.
“Pemerintah harus cepat tanggap dengan perubahan profesi. Bisa jadi perubahannya lebih cepat ketimbang merombak undang-undang,” tegas Dee.
Artikel dan info grafis diambil dari website Tirto.Id