“Nothing worse in life than being ordinary.”
Kalimat itu akan Anda temukan ketika membuka halaman pertama buku Andre Syahreza ini. Sebuah buku yang berjudul The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta, terbitan GagasMedia. Lho, lho, ada apa dengan being ordinary?
“Nothing worse in life than being ordinary.”
Kalimat itu akan Anda temukan ketika membuka halaman pertama buku Andre Syahreza ini. Sebuah buku yang berjudul The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta, terbitan GagasMedia. Lho, lho, ada apa dengan being ordinary?
Andre bilang motifnya menyusun buku ini hanyalah ingin membuncahkan ide-idenya tentang konsep “berbeda.” Andre mencoba menjelaskan kenapa kita boleh punya pilihan berpikir yang berbeda dari kebanyakan orang. Melakukan sesuatu di luar kebiasaan yang diamini publik.
Maka, jangan heran kalau narasumber dari tulisan-tulisan berbentuk feature ini adalah juga orang-orang yang jauh dari popularitas. Orang-orang yang tak pernah mendapatkan perhatian media karena mereka bukan figur publik. Jika artis terlanjur dianggap sebagai figur luar biasa dengan kisah hidup yang—kalau dipikir-pikir—biasa-biasa saja, sebagian besar narasumber dalam buku ini adalah orang-orang biasa dengan jalan cerita yang tidak biasa. Mulai dari kisah seorang gila yang percaya suatu hari nanti bakal jadi presiden, tentang para pelacur yang “diimpor” dari Cina, sampai kisah penjaga kamar mayat di RSCM.
Buku setebal 220 halaman ini berisi 27 tulisan dalam format feature. Feature, sebagai salah satu jenis penulisan jurnalistik memang luwes dalam batasan waktu. Sebuah sajian jurnalistik yang menyentuh tombol-tombol humanis dalam simpul saraf kita. Itulah yang coba disajikan Andre dalam The Innocent Rebel.
Andre memang cukup jeli membidik sisi aneh manusia yang hidup di sebuah kota bernama Jakarta. Aristoteles boleh bilang bahwa teori polis yang ideal adalah menghubungkan jiwa-jiwa di dalamnya. Namun, untuk kota metropolitan seperti Jakarta, yang kian hari menunjukkan raut carut-marut, yang dimensinya makin jarang dipahami kebanyakan orang, tali penghubung jiwa itu semakin mengabur. Lewat tulisannya, Andre ingin mengajak pembaca bertualang memasuki kisah-kisah ganjil para penghuni Jakarta. Pada titik tertentu, tulisan ini menjadi jendela kita untuk melongok ke sebuah dunia, menghubungkan kita dengan jiwa-jiwa yang bersemayam di dalamnya.
Apa jadinya Jakarta seandainya harus menutup aurat? Temukan jawabannya dalam sebuah feature berjudul Parno Porno. Feature yang terdapat dalam Blue Chapter: Social Climber ini diawali dengan paragraf pembuka yang deskriptif khas feature:
“Rambutnya mengundang gairah, ikal kecokelat-cokelatan. Kulit kuningnya memancarkan birahi. Bibirnya merah-indah merekah. Tubuhnya adalah yang paling seksi yang pernah dibayangkan laki-laki untuk digagahi. Tubuh itu dibungkus pakaian minim yang menyempurnakan pangkal dada hingga pangkal paha. Payudara yang terbelah di antara bra sutera adalah mimpi seribu satu malam para Pangeran Vagina.”
Buku yang merupakan kumpulan feature tulisan Andre di majalah Djakarta! Ini dari judul dan cover-nya pun memang sudah mengusung konsep tak biasa. Cover buku ini menampilkan seorang perempuan dengan pakaian yang terbuat dari tempelan kertas. Foto cover-nya merupakan salah satu dari rangkaian tujuh foto bertema “Changing Edition,” edisi Djakarta! yang membahas tentang perubahan karakter orang-orang Jakarta. Foto yang merupakan bidikan Paul Kadarisman itu dipasang untuk halaman Fashion Terbalik, majalah Djakarta!. Begitu pula dengan pilihan judul yang paradoksal. Kata “rebel” yang umumnya dikonotasikan negatif justru disandingkan Andre dengan kata “innocent.” Belum lagi isi tulisan yang mengambil angle tak biasa.
Tak usah takut untuk berbeda. Take a look! Dan Anda akan melihat bahwa memandang dari sudut tak biasa atau berbeda justru membuat kita bisa lebih bijak dalam bertindak dan berpikir.
Selamat membaca, dan selamat berpikir dari sudut pandang yang tidak biasa!