Obrolan Santai di Balik Novel All You Can Eat

Christian

Christian“Dear pembaca,
Berbeda dengan penulis lain di luar sana, aku akan berterus terang mengenai akhir novel ini: bahagia. Tapi, kumohon, jangan desak aku untuk menceritakan awal ceritanya. Juga tentang siapa Sarah, siapa Jandro, dan apa yang menghubungkan mereka berdua.”

Begitulah kalimat pembuka yang akan kamu temukan di bagian back cover novel All You Can Eat, karya kesepuluh Christian Simamora. Nah, bagi yang penasaran ingin tahu lebih dalam mengenai karya kesepuluh Christian, simak hasil bincang-bincang GagasMedia berikut ini.

Apa, sih, inti cerita dari novel kesepuluhmu ini?
All You Can Eat lebih merujuk pada makan hati. Waktu itu, draft pertamanya punya tagline cerita hati yang makan hati. Tentang seseorang yang berkali-kali ditolak oleh orang yang sama. Simple-nya seperti itu. Tapi apakah ceritanya se-simple itu, jelas tidak.

Dari mana kamu mendapatkan ide menulis cerita ini?
Waktu itu aku lagi nggak ada ide mau ngapain. Terus aku nanya sama adikku. Aku minta dia cerita—apa pun ceritanya. Akhirnya, dia memberikan masukkan. Jadi, sebelum formula ceritanya terbentuk, aku justru dapat ide tentang tokohnya terlebih dahulu. Dan, ya, kali ini karakter cowoknya itu aku dapat dari adikku. Aku cuma ngikuti aja. Inspirasinya dari dia. Dia maunya kayak apa, aku catat di handphone. Pokoknya se-simple perjalanan naik taksilah. Setelah karakter tokoh itu jadi, barulah aku cocokkan dengan alur ceritanya. Cowok seperti ini nih, cocoknya dijodohkan dengan cerita seperti apa.

all-you-can-eatKenapa memilih judul “All You Can Eat”?
Ironisnya, sejak judul All You Can Eat aku umumin, nggak ada yang benar-benar nanya soal itu. Jadi mereka kayak ngerti aja gitu. Dan, memang buku ini juga bukan tentang pengusaha buffet. Kenapa milih judul ini, karena All You Can Eat itu fun. Sounds fun. Multitafsir juga. Aku melihat, eating itu bisa dikonotasikan dengan macam-macam. Jadi aku milih ini, selain karena fun, orang familiar dengan judulnya, mudah dilafalin, dan sexy.

Kenapa memilih genre novel dewasa & terinspirasi dari mana?
Pertama karena umur. Setelah Pillow Talk selesai, aku merasa nggak bisa balik lagi ke novel remaja. Karena teknik menulis untuk novel remaja dan romance itu beda banget. Kalau misalnya novel remaja orientasinya ke plot atau jalan cerita, romance lebih terfokus pada karakter. Jadi, lebih mempersoalkan chamistry. Dan, karena aku semakin terbiasa dengan teknik menulis novel dewasa, jadi nggak bisa lagi nulis novel remaja. Kalau bicara inspirasi, novel dewasa yang aku baca seperti Jackie Collins atau Johanna Lindsey juga menjadi inspirasi.

Ada kesulitan nggak saat pindah dari novel remaja ke novel dewasa?
Paling crucial adalah saat merumuskan karakter. Kalau novel remaja biasanya aku lebih mikir ke arah setting. Sedangkan novel dewasa, ada semacam kebutuhan bahwa ingin rasanya beda-beda. Jadi karakternya dicocokkan dengan pekerjaannya. Aku nggak mau asal aja. Meriset dan memasukkan background pekerjaan si tokoh ke dalam cerita itu agak ribet. Agak butuh waktu lamanya di situ sampai bisa pas.

Riset apa yang biasanya kamu lakukan untuk novel-novel dewasa ini?
Biasanya riset pekerjaan. Seperti Pillow Talk, karena tokoh cewek punya toko online, jadi aku riset bagaimana mempersiapkan barang untuk toko online. Atau, pada saat menulis Good Fight, aku tanya-tanya tentang bagaimana keseharian seorang fashion stylist kepada salah satu temanku. Dan sekarang, tokohnya bekerja sebagai script writer, maka aku coba tanya-tanya ke Mas Ve Handojo.

Seperti apa, sih, konsep covernya?
Begitu masuk bagian layout, aku meminta konsep dengan gaya dandy. Warnanya nggak meriah dan agak konvensional. Konsep ini menyesuaikan dengan karakter si cowoknya: kaya, tapi tidak suka pamer, bukan cowok metroseksual, lebih town down, pokoknya lelaki rumahan gitulah.

Ada keinginan mencoba genre lain?
Mau, sih. Tapi saat ini, aku ingin serius dulu di novel dewasa. Kebetulan, lagi mengerjakan karya terbaru juga. Jadi, begini, karena konsep pertama novel dewasa aku karakter-karakternya selalu berawalan huruf J, maka janjiku kalau sudah nggak ada lagi nama berawalan J yang bagus untuk dibuat mungkin saat itulah aku harus mulai berpikir untuk hal-hal baru.

Kenapa harus J?
J itu sound sexy. Dan, memang sesuai dengan yang aku cari. Karena ini ditujukan bagi pembaca perempuan, jadi aku harus nulis “as sexy as possible”.

Boleh dong, bagi-bagi tip menulis untuk pembaca?
Kalau bertemu penulis, aku selalu bertanya, “lo mau jadi penulis yang bagaimana?” Kamu mau jadi penulis apa dan kamu mau dikenal sebagai penulis apa. Itu yang harus dipikirkan dari awal sebelum kamu menjadi penulis. Penerbit pun akan senang sekali punya penulis yang—istilahnya—profilic. Dan, teknik menulis akan mengikuti pilihan kita itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RACUN SANGGA