Kamis, 18 Mei 2017, Makassar Internasional Writers Festival 2017 mempersembahkan acara bertajuk Ruang Bersama: Narrations about Conflict and Resolution yang diadakan di Museum I Lagaligo. Acara yang berlangsung pukul 10.00 WITA ini menghadirkan Erni Aladjai—penulis KEI—sebagai salah satu pembicara.
Sesuai dengan tema MIWF 2017 tahun ini, Diversity, di Ruang Bersama para pembicara akan membahas tentang keragaman dari berbagai wilayah—khususnya yang sedang berkonflik—di Indonesia.
Selama ini, saat konflik terjadi, berita yang tersiar biasanya terkait tentang berapa banyak jumlah korban yang terdapat dalam konflik tersebut. Sangat jarang yang memberitakan tentang peran persaudaraan yang tetap hidup.
Di desa Erni sendiri, tepatnya di Banggai Laut, Sulawesi Tengah, konflik juga pernah terjadi. Seperti dikutip dari laman makassarwriters.com, konflik di Banggai Laut ini melibatkan orang-orang dari dua desa yang berasal dari satu suku. Isu politik menjadi pemicu konflik antara dua desa di sana.
Sebagai seorang penerima hibah perdamaian di tahun 2016, Erni bersama teman-temannya menyelenggarakan program residensi yang diberi nama Program Residensi Paupe—seni bertutur budaya Banggai yang berisi syair-syair perdamaian. Budaya ini seolah hilang ketika konflik berlangsung. (makassarwriters.com)
“Ketika wilayah yang berdekatan berkonflik, ada ruang-ruang di antara mereka yang hilang, yang tidak terjaga lagi”, begitu kata wanita yang menjadi Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 lewat novel KEI.
Wanita yang lahir dan tumbuh di Desa Lipulalongo ini lebih lanjut mengatakan, “Seni harus masuk dengan cara yang lembut untuk mengisi ruang-ruang kosong itu dan menjalin persatuan kembali”.
Acara yang berlangsung selama 2 jam ini juga dimeriahkan dengan pemutaran film dokumenter Erni tentang Paupe.
Menuliskan tradisi budaya bersama Erni Aladjai
Keesokan harinya, Jumat, 19 Mei 2017, Erni juga menjadi pembicara dalam acara Writing in Tradition yang berlangsung pada pukul 14.00 WITA.
“Tradisi bisa hilang. Di desa asal saya, anak-anak tidak bisa berbahasa asli daerah itu karena jarang dipakai,” begitu ungkap Erni saat menjelaskan tentang tradisi yang ada di daerah asalnya—Banggai Laut, Sulawesi Tengah.
Masih menurut Erni, hilangnya tradisi itu bisa terjadi karena tidak diperkenalkan kepada penerusnya. “Tugas penulis adalah memperkenalkan kembali lokalitas itu melalui tulisan,” tegas Erni.
Meski hampir selalu memasukkan unsur tradisi dalam tulisannya, bagi Erni seorang penulis tidak selalu harus menulis tradisi tersebut. “Bisa jadi keresahan yang mengancam nilai-nilai lingkungan yang kami tuliskan,” katanya.
Pengalaman Erni Aladjai dalam menuliskan konflik dan tradisi melalui karya-karyanya tentu sangat bisa menjadi inspirasi tersendiri bagi kita semua.