Review Nge-Blog dengan Hati oleh Adi Baskoro
Bagi yang pernah atau sering mampir di blog ndorokakung.com, pasti cukup akrab membaca kata ”pecas ndahe”. Kata ”pecas ndahe” di Jogja dan Solo, biasanya dipakai sebagai umpatan. Kata itu sengaja dipakai untuk menunjukkan kekesalan hati pemiliknya bila melihat dunia yang semakin tua dan penuh tikungan mengejutkan. Demikian aku Wicaksono –pemiliki blog ndorokakung.com– saat ditanya asal-usul tagline ”pecas ndahe”.
Lelaki Jawa tulen itu melanjutkan, ”Lama-lama kata itu tak lagi sekadar sebuah umpatan tapi berubah menjadi kiasan saya untuk merespons setiap peristiwa yang saya baca, lihat, dan temui sehari-hari. Ia juga menjadi semacam tag atau penanda bagi setiap judul posting.” Biasanya, bagi yang mengerti kata itu tak jarang langsung tertawa saat membaca judulnya. Misalnya Rani Juliani Pecas Ndahe, Email Pecas Ndahe, Buku Pecas Ndahe, dan seterusnya.
Blogger kawakan itu baru menerbitkan buku berjudul Ngeblog dengan Hati. Sebuah buku bertema langka. Sebab, kebanyakan di antara jajaran buku berbau blog, biasanya lebih menyoal perkara ngeblog secara teknis. Misalnya soal tak-tik atau akal-akalan ngeblog untuk uang, meningkatkan trafik kunjungan, menambah pernak-pernik, mengganti theme, dan seterusnya.
Dalam Ngeblog dengan Hati, kiranya Ndoro Kakung ingin menyampaikan pesan ngeblog dalam kerangka ”filosofis”. Bagi Ndoro, blog adalah media untuk berlatih mencari ide, menulis, juga berbagai apa saja, termasuk ilmu. Ia meneruskan dalam pengantar buku ini: seperti halnya hidup blog merupakan tempat kita berlatih yang begitu luas, dalam kurun waktu yang tak kunjung putus.
Spirit ngeblog terbersit dalam kata blogisme. Ndoro Kakung menuliskan di atas blognya (8 Februari 2008) seperti ini: Blogisme itu sebuah paham bahwa blog itu bukan sekadar barang dagangan. Dia dimulai dengan keinginan, dia digerakkan oleh hasrat, sedikit modal (ongkos beli domain dan sewa hosting), lalu diperkenalkan pada blogger dan ke sudut-sudut blogosphere di delapan penjuru angin.
Nge-Blog dengan Hati garapan jari redaktur utama Koran Tempo ini patut diintip. Wicaksono mengandaikan mengisi blog itu ibarat lari maraton, bukan lari jarak pendek. Tulisnya dalam buku ini, ”Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tidak perlu buru-buru berhenti.” Ngeblog yang tulus memang bukan perkara gampang. Tidak semua orang bisa melakukan.
Sebagai sebuah pengantar wacana dan pelatuk soal dunia blogger, buku ini cukup lengkap dan inspiratif. Buku ini dipetakan menjadi empat bagian; yakni soal blog dan blogger, etika dan hukum, rahasia uang dan kemasyuran, serta soal laku moral dan teknologi. Buku ini dibuka oleh Windy Ariestanty mengenai kronologi dan alasan mendasar terbitnya buku ini. Dilanjutkan dengan sejarah ngeblog Ndoro Kakung pada 2005, hingga menjelang akhir 2006 Ndoro mulai ngeblog berdomain ndorokakung.com dan hijrah ke mesin WordPress.
Satu wejangan substantif dari Ndoro adalah soal content. Sebab, menurutnya, orang berkunjung bukan ingin melihat desain blognya, tapi isi dari blog itu. Konten itu bisa berupa macam-macam seperti artikel, gambar, foto, video, dan audio. Lihat saja blog ndorokakung.com yang tampilannya begitu sederhana. Namun, sekali posting pengunjung dan komentarnya banyak. Pendeknya konten blog sebagai raja.
Memang bukan perkara yang gampang agar bisa menjaga konten terus rutin diunggah di blog. Pasang-surut dan hasrat menulis di blog selalu terikat pada mood dan disiplin menangkap ide. Nah, lewat media blog ini, sebenarnya para blogger bisa memanfaatkan sebagai ajang bereksperimen dan berkreasi, serta melatih menangkap ide. Menurunkan ide tak melulu terus lewat tulisan. Foto, gambar, komik, atau video pendek pun tak soal untuk diunggah.
Selain itu, yang perlu diingat, blog adalah media komunikasi dengan khayalak ramai di internet. Maka, bila kita amati, di atas blog itu percakapan yang saling sambar pun biasa terjadi. Komentar dari para pengunjung menjadi bahan apresiasi dan diskusi terhadap hasil posting. Entah itu berupa cacian, sanjungan, ataupun komentar yang tidak nyambung. Di sini blogger harus mampu membayangkan efek setelah artikelnya dipublikasikan dan merespons komentar-komentar itu secara interaktif. Menurut Ndoro, inilah kunci merebut hati khalayak: berinteraksi dan konsisten melayani (hlm. 6). Jadi ngeblog itu cocok bagi mereka yang suka berdiskusi dan melempar isu.
Buku ini ditulis seperti gaya tulisannya di blog. Sederhana, renyah, berkalimat pendek-pendek, dan tak jarang membuat tertawa. Ndoro juga sering menggunakan gaya percakapan dalam menyampaikan tulisannya. Nah, selain soal spirit, satu hal lain soal teknis penulisan patut kita contoh untuk belajar ngeblog dari jurnalis ini.
Buku Ngeblog dengan Hati lebih berupa tip dan anjuran agar ngeblog tak diniatkan untuk menaikkan trafik kunjungan, untuk mencari uang, atau malah akal-akalan saja. barangkali dengan membaca buku ini para blogger bisa terinspirasi dan tertulari spirit ngeblog ala Ndoro Kakung. Keyword penting dan perlu diresapi adalah soal ”berbagi”, eksperimen, dan interaksi di dunia maya.
Memang ada aneka rupa niatan untuk ngeblog dari sekadar iseng, narsis, promosi, jualan, hingga yang ”serius” ingin berbagi ilmu atau sekadar diskusi. Yang jelas, baik Ndoro Kakung, Raditya Dika (radityadika.com), ataupun Chaos@work (chaosatwork.blogspot.com), awal aktivitas ngeblog bukan ditujukan untuk membuat buku. Hanya spirit dan konsisten untuk terus mengisi konten blog yang nampak dalam blog mereka.
Bagaimana kabar spirit ngeblog Anda saat ini? Bila masih loyo silakan simak saja buku ini. Mungkin buku ini bisa jadi sebuah saklar untuk menggairahkan kembali hasrat menulis dan berbagi di dunia maya. Go blog! (*)
* Adi Baskoro, penikmat blog & web rumahmatahari.net
Review selengkapnya bisa kamu baca di kolom Buku http://jawapos.co.id, Minggu, 14 Juni 2009.