Rahasia Invasi AS ke Irak
Dampak perang bagi siapa pun tentu tidaklah baik. Bukan hanya nyawa yang melayang, tetapi juga infrastruktur bangunan porak-poranda. Belum lagi permasalahan lain yang ditimbulkan oleh perang, seperti kelaparan, kemiskinan, kesengsaraan, dan sebagainya.
Namun, semua itu tidak berlaku bagi Amerika Serikat! Tidak ada belas kasihan bagi negara-negara ‘pengganggu’, setidaknya menurut AS. Sebut saja Irak. Negeri seribu satu malam ini merupakan salah satu negara ‘pengganggu’ bagi AS dan sekutu terdekatnya, Israel.
Contoh teranyar yang bisa kita ingat adalah invasi AS ke Irak yang terjadi pada 21 Maret 2003 silam. Dengan dalih melucuti senjata pemusnah massal di Irak dan menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap membahayakan stabilitas global dan regional.
Namun, benarkah semua alasan itu, mengingat Irak tidak hanya kaya akan budaya, melainkan pula sumber alam yang pasti sangat diincar oleh berbagai pihak.
Sebenarnya, selain dua alasan di atas, masih banyak faktor yang melatarbelakangi invasi AS atas Irak. Mulai dari pemberantasan jaringan terorisme internasional hingga menjadi penolong rakyat Irak dalam menciptakan masa transisi untuk membangun sebuah pemerintahan yang representatif.
Sayangnya, beragam alasan yang dikeluarkan oleh AS menjadi sebuah kebohongan yang diketahui secara luas oleh dunia internasional. Dari seluruh analisis terhadap motif invasi AS yang sesungguhnya, terdapat persepsi umum bahwa ekonomilah yang menjadi faktor dominan. Beberapa perhitungan yang terkait dengan motif ekonomi dan bisnis dari serangan AS atas Irak antara lain sebagai berikut.
- Kekayaaan minyak bumi yang dimiliki oleh Irak merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi.
- Ingin menciptakan tatanan dunia baru yang “lebih aman” dengan tujuan kebebasan ekonomi dan politik. Hal ini merupakan strategi geopolitik AS di kawasan Timur Tengah. Bagi AS, Irak merupakan ancaman potensial bagi kepentingannya dan sekutunya, Israel, di kawasan ini.
- Proyek rekonstruksi pascaperang yang menguntungkan AS. Kehancuran infrastruktur akibat perang akan melahirkan proyek-proyek rekonstruksi dengan dana yang besar. Sebagai pemeran utama invasi, AS akan mengambil proyek-proyek tersebut untuk meraup keuntungan besar pascaperang.
Ya, terlepas dari semua alasan non-ekonomi, Irak adalah negara yang sangat kaya dengan hasil alam (minyak bumi). Invasi ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Amerika Serikat sebagai pihak penyerang. Invasi tersebut menjadi sebuah proyek bisnis besar yang mengikuti aturan main layaknya persaingan bisnis. Di sana, ada pemilik modal, ada lahan garapan, ada pasar, dan ada juga pesaing-pesaing.
Persis seperti salah satu filosofi ekonomi pascaperang dunia pertama yang mengatakan bahwa perang adalah mesin pertumbuhan ekonomi di dunia (war is machine of economic growth).
Satu hal yang dapat membuktikan hal tersebut adalah kronologi kebijakan invasi itu sendiri. Adanya sebuah konspirasi hebat di balik kebijakan invasi yang diputuskan. Lebel perang dalam konteks crusade (Perang Salib) menjadi sesuatu yang dipaksakan untuk mendapatkan kesan sakral invasi ini. Lebih dari itu, semuanya merupakan pengalihan isu terhadap kepentingan Amerika Serikat yang sesungguhnya, yaitu menguasai minyak Irak.
Tulisan di atas dikutip dari buku Tentara Bayaran AS di Irak yang ditulis oleh Wirawan Sukarwo. Buku ini mengajak kita untuk memperluas pengetahuan tentang invasi AS terhadap Irak yang selama ini masih terbalut dengan alasan yang dibuat-buat.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Soesiswo Soekarno, SH. MA. (Dosen Senior di Program Pasca-Sarjana Universitas Indonesia dan mantan Ketua Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Indonesia) pada testimoni buku terbitan GagasMedia ini.
“Buku ini membahas suatu hal yang sangat penting untuk diungkapkan dan dipahami oleh mereka yang percaya kepada sistem pemerintahan demokrasi. Buku ini juga memperlihatkan kejelian penulis dalam memahami benang merah permasalahan perang Irak—yang sebenarnya.”