Shit Does Not Happen di Buku Ini
Shit Happens penuh dengan tema-tema urban, dengan tiga keresahan yang sama besar: perkawinan, cinta lama, dan ehm, orientasi seksual.
Penulis-penulis muda zaman sekarang ini lebih suka menuliskan permasalahan yang dekat dengan kehidupannya masing-masing: cosmopolit dengan persoalan-persoalan manusia urban. Meskipun ada penulis lain seperti Ratih Kumala, Dewi Sartika, atau Djenar Maesa Ayu, penemaan urban-pop –“Eiffel I’m in Love”, “Cintapuccino”- lebih mengacu pada satu kata kunci: ”angst” atau keresahan. Keresahan dalam menjalani hidup, mendekati quarter-life crisis, dan menjawab pertanyaan simpel tentang cinta atau yang lebih berat tapi mentok pada “Apakah pilihan hidup saya benar?”
Shit Happens penuh dengan tema-tema urban ini, dengan tiga keresahan yang sama besar: perkawinan, cinta lama, dan ehm, orientasi seksual. Tiga orang dan keresahannya masing-masing itu adalah: Lula yang harus menemukan jawaban kenapa di antara semua kesempurnaan hidupnya dia tidak menemukan cincin di jari manisnya, Langit yang harus menelan kenyataan bahwa pacarnya akan kawin dengan orang lain, dan favorit gue, Sebastian yang punya orientasi seksual bermasalah ketika dia menemukan dirinya menjadi gay.
Windy Ariestanty dan Christian Simamora berkolaborasi dan membuat novel ini bergaya naratif multiple point of view (MPOV): masing-masing tokoh utama bercerita bergantian. Narasi tidak konsisten yang biasa kita temui di novel dengan MPOV lain -Philophobia, misalnya- tidak kita temui pada Shit Happens. Masing-masing karakter berbicara dengan personality-nya sendiri-sendiri. Mungkin, karena penulisnya dua orang, jadi mudah untuk membuat karakteristik penokohan yang berbeda. Mungkin juga, karena keduanya juga berpengalaman jadi editor jadi mengerti kesalahan-kesalahan penulis lain yang pernah menulis dengan gaya seperti ini.
Lula dan Langit mungkin pernah kita simak sekilas temanya pada buku-buku chicklit yang lain: gak kawin-kawin dan ditinggal pasangan. Enter Sebastian. Sebastian membawa tema gay dengan angle yang sangat menarik. Di saat buku bertema gay lainnya punya tokoh yang sudah jadi gay (Ruben dan Dhimas-nya Supernova), tapi di buku Shit Happens kita akan melihat bagaimana Sebastian bisa berubah dari cowok yang (dia pikir) straight menjadi was-was-gay. Perubahan-perubahan ini, jika tidak mengundang tawa, bisa membuat kita serem juga. Konflik kental terdapat ketika dia memberitahu ibunya (batak tulen) atas orientasi seksualnya yang mencong keluar jalur itu.
Cerita Lula, Langit, dan Sebastian bersinggungan ketika mereka bertemu dan membicarakan progress “angst” mereka masing-masing over coffe, atau Wendy’s. Lengkap dengan becandaan-becadaan khas anak muda yang bikin nyengir atau setidaknya berpikir “Ah, gue pake ah buat ngeledekin temen gue”.
Author personalisation, kecenderungan untuk memasukkan kehidupan pribadi ke dalam karangan, terasa sekali di sini. Ketiga karakter dalam buku ini pecinta buku dan berprofesi di bidang media seperti Christian dan Windy. Hal ini, tentu saja bukan hal yang buruk.
Lepas dari masalah teknis, kabarnya ada tiga toko buku yang menolak buku ini, karena ehm ada "diksi" atau vocabulary dalam buku ini yang tidak sesuai. Buku ini emang bukan untuk yang faint hearted. Paragraf utama dalam buku ini aja langsung membahas Langit yang punya niat memberi nama anaknya j*mb*t (di buku, tentu saja, tidak disensor). Belum lagi kata p*n*s yang berserakan di novel ini yang jumlahnya puluhan.
Apakah ini menjadi permasalahan? Sepertinya tidak. Jujur, lebih nyaman membaca kata-kata saru lepas konteks dalam buku ini dibandingkan membacanya di novel yang “nyastra” tapi tidak memberikan kontribusi apa pun terhadap cerita selain “shocking value” yang didapat dari kata-kata tersebut. Windy dan Christian menempatkan kata-kata terlarang tersebut dalam percakapan dan eksposisi tokoh dengan sangat elegan: tidak menjadi jorok, tapi jujur. Toh, bukankah ini yang masyarakat urban sering bicarakan kalau lagi ngopi-ngopi?
Baca buku ini dan cari tahu kenapa Langit di bagian epilog novel ini berkata tidak ingin dikubur jika dia mati nanti? Yup, baca dan tertawa, atau renungkan, atau baca dan renungkan. Kadang-kadang, terutama dengan buku ini, bisa bersamaan lho.