Selama ini, Dee lebih suka memproduksi dan memasarkan karya sendiri dengan mengusung bendera TrueDee Books. Jalur yang dipilih pun terbilang cukup berani. Independent, langsung ke grass root-nya. Ia masuk ke kampus-kampus, mendekati komunitas baca, dan terjun langsung ke kantong-kantong mahasiswa yang kebanyakan penikmat karyanya. Cara ini, mau tak mau menciptakan image sendiri terhadap buku-buku karya Dee. Kali ini, Dee melakukan join production dengan GagasMedia untuk membidani lahirnya Filosofi Kopi ke dunia perbukuan. Kenapa Gagas?
"Pada akhirnya menurut aku, semua berpulang pada karya itu sendiri. Aku ingin orang melihat karyaku, bukan seperti apa cara aku memasarkan."
Selama ini, Dee lebih suka memproduksi dan memasarkan karya sendiri dengan mengusung bendera TrueDee Books. Jalur yang dipilih pun terbilang cukup berani. Independent, langsung ke grass root-nya. Ia masuk ke kampus-kampus, mendekati komunitas baca, dan terjun langsung ke kantong-kantong mahasiswa yang kebanyakan penikmat karyanya. Cara ini, mau tak mau menciptakan image sendiri terhadap buku-buku karya Dee. Kali ini, Dee melakukan join production dengan GagasMedia untuk membidani lahirnya Filosofi Kopi ke dunia perbukuan.
Kenapa Gagas?
Dee tergelak. Alkisah, suatu hari, Dee pergi mengunjungi sebuah toko buku. Penggemar Sapardi Djoko Damono ini melihat sebuah meja dengan tulisan "Buku Pilihan". Penasaran, ia mendatangi meja tersebut.
"Sialan… buku Gagas semua!" ujar Dee sambil memukul satu telapak tangannya dengan satu tangan lainnya yang terkepal kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Melihat buku Gagas yang berada di display khusus tersebut, Dee jadi tahu, bahwa GagasMedia ini pastinya memiliki hubungan yang baik dengan toko buku. Hingga suatu hari di festival penulis, Ubud, Dee bertemu dengan Moammar Emka. Emka menawarkan Dee menerbitkan bukunya di GagasMedia. "Gue tanya, bisa join production, nggak? Dan Emka bilang, ‘OK aja. No problem!’"
Buku-buku Dee sebelumnya memang dipasarkan secara indie. Sempat juga menggandeng beberapa penerbit lain untuk distribusinya. Tetapi, kemudian Dee menyadari bahwa untuk menulis sekaligus menerbitkan bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain memiliki SDM yang cukup, ia pun harus memunyai energi ekstra. "Jujur, saya tidak bisa mengadakan itu."
Daripada tenggelam hanya demi memertahankan image indie-nya, Dee memilih jalur yang lebih visible dan realistis. "Aku kasihan dengan bukunya. Itu saja alasanku," kata Dee. Walaupun kemudian banting setir, Dee tetap melekatkan label TrueDee di semua bukunya. "Jadi, dengan penerbit mana pun, aku tetap bawa label sendiri." Menurut ibu dari Keenan ini, masalah kerja sama itu lebih ke urusan distribusi. Untuk produksi, ia tetap melakukannya sendiri, paling banter join production, seperti Filosofi Kopi.
Dee tidak khawatir kalau kerja samanya dengan GagasMedia akan menimbulkan image yang lain. "Tidak ada yang berubah dengan caraku. Hanya pendekatan saya lebih realistis. Aku berharap, orang melihat aku dari karyaku. Bukan bagaimana cara aku memasarkannya."